Total Pageviews

Powered By Blogger

Links

Popular Posts

Tuesday, December 13, 2011

Lembaga Bahtsul Masail Nahdlatul Ulama (LBM-NU)

Lembaga Bahtsul Masail Nahdlatul Ulama (LBM-NU)

Lembaga Bahtsul Masail Nahdlatul Ulama atau disingkat LBM NU adalah sebuah lembaga otonom Organisasi Masyarakat Nahdlatul Ulama yang berkecimpung pada pembahasan masalah-masalah kekinian yang berkembang di Masyarakat dengan berpedoman pada Al Quran dan Al Hadits dan Kutub at Turats para mujtahid terdahulu.

Situs ini dikembangkan atas ide DR.KH.Agus Zainal Arifin salah seorang Wakil Ketua Rabithah Ma’ahid al Islam Pusat, untuk mensosialisasikan hasil musyawarah para kyai dalam menyikapi masalah-masalah kemasyarakatan ditinjau dari sudut pandang fiqh syariah.

Dalam Situs ini terdapat tiga macam hasil musyawarah bahtsul masail yaitu

  1. Hasil Bahtsul Masail yang diselenggarakan oleh LBM NU Wilayah Jawa Timur yang dikumpulkan dalam rubrik TOPIK
  2. Hasil Bahtsul Masail yang diselenggarakan oleh LBM NU Cabang se Jawa Timur yang dikumpulkan dalam rubrik DAERAH
  3. Hasil Bahtsul Masail yang diselenggarakan oleh Forum Musyawarah Pondok Pesantren Se Jawa Madura atau disingkat FMPP yang dikumpulkan dalam rubrik FMPP.

Ketiga lembaga ini masing-masing berdiri secara otonom, oleh karena itu dimungkinkan hasil bahtsul masail yang diputuskan ada yang memiliki kesamaan pembahasan atau bahkan ada sedikit banyak perbedaan keputusan, namun demikian kesemuaannya dapat dipertanggungjawabkan karena telah melalui pembahasan yang matang.

HASIL BAHTSUL MASA'IL NU JATIM

HASIL BAHTSUL MASA'IL NU JATIM


Permasalahan: Para jama’ah haji yang meninggal sebelum menyelesaikan ibadah hajinya. Misalnya meninggal sebelum melaksanakan ibadah umroh, atau pada waktu melaksanakan umroh, atau meninggal setelah umroh, tetapi belum melaksanakan ihrom haji bagi haji tamattu’.

Pertanyaan: Apakah jama’ah haji yang meninggal tersebut, atau para keluarga/ahli waris berkewajiban ihjaj, apabila orang yang meninggal termasul orang mampu, dsehingga harta tirkahnya tidak boleh diwaris sebelum hajinya dipenuhi?



Jawab:

Ahli waris atau orang yang diwasiati, wajib “ihjaj” apabila hajinya fardlu dan setelah istiqror (sudah mampu sebelum tahun dia melaksanakan haji tersebut). Adapun cara “ihjaj” menurut qoul Jadid, mulai dari awal lagi. Dan menurut qoul Qodim, dengan cara meneruskan hajinya, sedang harta tirkahnya bisa dibagi setelah diambil untuk biaya haji.



Dasar pengambilan:

1- 33روضة الطالبين الجزء الثالث الصحيفة

:، ما نصّه:

وإذا تأخر بعد الوجوب فمات قبل حج الناس تبين عدم الوجوب لتبين عدم الإمكان. وإن مات بعد حج الناس استقر الوجوب ولزم الإحجاج من تركته.

2-30روضة الطالبين الجزء الثالث الصحيفة

: ، ما نصّه:

أما إذا مات الحاج عن نفسه في أثنائه فهل يجوز البناء على حجه، قولان: الأظهر الجديد لا يجوز كالصوم والصلاة. والقديم يجوز. فعلى الجديد يبطل المأتيّ به إلا في الثواب ويجب الإحجاج عنه من تركته إن كان استقر في ذمته.

3-135 شرح المهذب المجلد السابع الصحييفة

: ، مانصه:

(فرع) إذا مات الحاج عن نفسه في أثنائه هل تجوز النيابة على حجه؟ فيه قولان مشهوران، الأصح الجديد، لاتجوز كالصلاة والصوم. والقديم يجوز لدخول النيابة فيه. فعلى الجديد يبطل المأتيّ به إلاّ في الثوب. ويجب الإحجاج عنه من تركته إن كان قد استقرّ الحج في ذمته. وإن كان تطوّعا لم يستطع إلاّ هذه السنة لم يجب.

4-2? الميزان الكبرى الصحيفة

: ، مانصه:

واتقوا على من لزمه الحج فلم يحجّ ومات قبل التمكن من آدائه سقط عنه الفرض.

5-54 سلّم التوفيق الصحيفة

: ، ما نصه:

ولا تصح قسمة تركة ميت ولا بيع شيئ منها ما لم توفّ ديونه ووصاياه، وتخرج أجرة حجه إن كان عليه

BAHTSUL MASA'IL THN 1996 Di Pon Pes Sukorejo Asembagus Situbondo Jawa Timur

Bahsul Masail dan Istinbath Hukum dalam NU : Oleh KH. MA. Sahal Mahfudh

Bahsul Masail dan Istinbath Hukum dalam NU

Kamis, 23 April 2009 11:59:15 - oleh : admin

Oleh KH. MA. Sahal Mahfudh

Jakarta.NU.Online.
Nahdlatul Ulama (NU), sebagai jam'iyah sekaligus gerakan diniyah islamiyah dan ijtima'iyah, sejak awal berdirinya telah menjadikan faham Ahlussunah Wal Jama'ah sebagai basis teologi (dasar beraqidah) dan menganut salah satu dari empat mazhab: Hanafi, Maliki, Syafi'i dan Hambali sebgai pegangan dalam berfiqih. Dengan mengikuti empat mazhab fiqih ini, menunjukkkan elastisitas dan fleksibilitas sekaligus memungkinkan bagi NU untuk beralih mazhab secara total atau dalam beberapa hal yang dipandang sebagai kebutuhan (hajat) meskipun kenyataan keseharian ulama NU menggunakan fiqih masyarakat Indonesia yang bersumber dari mazhab Syafi'i. Hampir dapat dipastikan bahwa Fatwa, petunjuk dan keputusan hukum yang diberikan oleh ulama NU dan kalangan pesantren selalu bersumber dari mazhab Syafi'i. Hanya kadang-kadang dalam keadaan tertentu untuk tidak terlalu melawan budaya konvensional - berpaling ke mazhab lain.

Dengan menganut salah satu dari empat mazhab dalam fiqih, NU sejak berdirinya memang mengambil sikap dasar untuk "bermazhab". Sikap ini secara konsekuen ditindaklanjuti dengan upaya pengambilan hukum dari referensi ("maraji') berupa kitab-kitab fiqih yang pada umumnya dikerangkakan secara sistematik dalam beberapa komponen: ‘ibadah, mua'amalah, munakahah (hukum keluarga) dan jinayah/qadla (pidana/peradilan). Dalam hal ini para ulama NU dan forum Bahtsul masa'il mengarahkan orientasinya dalam pengambilan hukum kepada aqwal al-mujtahidin (pendapat para mujtahid) yang muthlaq ataupun muntashib. Bila kebetulan ditemukan qaul manshush (pendapat yang telah ada nashnya), maka qaul itulah yang dipegangi. Kalau tidak ditemukan, maka akan beralih ke qaul mukharraj (pendapa thasil takhrij). Bila terjadi khilaf (perbedaan pendapat) maka diambil yang paling kuat sesuai dengan pentarjihan para ahlul-tarjih. Mereka juga sering mengambil keputusan sepakat dalam khilaf akan tetapi juga mengambil sikap untuk menentukan pilihan sesuai dengan situasi kebutuhan hajjiyah tahsiniyah (kebutuhan sekunder) maupun dlaruriyah (kebutuhan primer).

Dalam memutuskan sebuah hukum, sebagaimana dimaklumi, NU mempunyai sebuah forum yang disebut bahtsul masa'il yang dikoordinasi oleh lembaga Syuriyah (legislatif). Forum ini bertugas mengambil keputusan tetang hukum-hukum Islam baik yang berkaitan dengan masa'il fiqhiyah (masalah fiqih) maupun masalah katauhidan dan bahkan masalah-masalah tasawuf (tarekat). Forum ini biasanya diikuti oleh Syuriyah dan ulama-ulama NU yang berada di luar struktur organisasi termasuk para pengasuh pesantren. Masalah-masalah yang dibahas umumnya merupakan kejadian (waqi'ah) yang dialami oleh anggota masyarakat yang diajukan kepada Syuriyah oleh organisasi ataupun perorangan. Masalah-masalah itu setelah di inventarisasi oleh Syuriyah lalu diadakan skala prioritas pembahasannya. Dan apabila dalam pembahasan itu terjadi kemacetan (mauquf) maka akan diulang pembahasannya dan kemudian dilakukan ke tingkat organisasi yang lebih tinggi: dari Ranting ke Cabang, dari Cabang ke Wilayah, dari Wilayah ke Pengurus Besar dan dari PB ke Munas dan pada akhirnya ke Muktamar.

Dari segi historis maupun operasionalitas, bahtsul masa'il NU merupakan forum yang sangat dinamis, demokratis dan "berwawasan luas". Dikatakan dinamis sebab persoalan (masa'il) yang dibahas selalu mengikuti perkembangan (trend) hukum di masyarakat. Demokratis karena dalam forum tersebut tidak ada perbedaan antara kiai, santri baik yang tua maupun muda. Pendapat siapapun yang paling kuat itulah yang diambil. Dikatakan "berwawasan luas" sebab dalam forum bahtsul masa'il tidak ada dominasi mazhab dan selalu sepakat dalam khilaf. Salah satu contoh untuk menunjukkan fenomena "sepakat dalam khilaf" ini adalah mengenai status hukum bunga bank. Dalam memutuskan masalah krusial ini tidak pernah ada kesepakatan. Ada yang mengatakan halal, haram atau subhat. Itu terjadi sampai Muktamar NU tahun 1971 di Surabaya. Muktamar tersebut tidak mengambil sikap. Keputusannya masih tiga pendapat: halal, haram atau subhat. Ini sebetulnya merupakan langkah antisipatif NU. Sebab ternyata setelah itu berkembang berbagai bank dan lembaga keuangan modern yang dikelola secara profesional. Orang pada akhirnya tidak bisa menghindar dari persoalan bank.

***

Secara historis, forum bahtsul masa'il sudah ada sebelum NU berdiri. Saat itu sudah ada tradisi diskusi di kalangan pesantren yang melibatkan kiai dan santri yang hasilnya diterbitkan dalam buletin LINO (Lailatul Ijtima Nahdlatul Oelama). Dalam buletin LINO, selain memuat hasil, bahtsul masa'il juga menjadi ajang diskusi interaktif jarak jauh antar para ulama. Seorang kiai menulis ditanggapi kiai lain, begitru seterusnya. Dokumentasi tentang LINO ini ada pada keluarga (alm) KH. Abdul Hamid, Kendal. Lewat LINO ini pula ayah saya (KH. Mahfudh Salam) saat itu bertentangan dengan Kiai Murtadlo, Tuban mengenai hukum menerjemahkan khutbah ke dalam bahasa Jawa atau Indonesia. Itu bukan berarti tukaran (konflik), tetapi hannya sebatas berbeda pendapat dan saling menghormati. Kiai Mahfudh membolehkan khutbah diterjemahkan sementara Kiai Muratadlo tidak. Sampai sekarang tradisi khutbah di daerah Tuban tidak ada yang diterjemahkan.

Sering muncul krtik bahwa forum bahtsul masa'il NU tidak dinamis, hanya berorientasi pada qaul (pernyataan verbal) ulama, bukan manhaj (metodologi) dan Syafi'iyyah sentris. Krtitik tersebut sesungguhnya tidak seluruhnya benar. Misalnya dulu forum bahtsul masa'il mengharamkan orang Islam memakai jas dan dasi karena dianggap tasyabbuh (menyerupai) dengan orang kafir. Tetapi KH. Wahab Khasbullah sendiri setelah merdeka selalu memakai sarung dan dasi. Ini tidak ada dalilnya (qaulnya). Itu berdasakan manhaj. Tidak ada kitab-kitab fiqih yang secara tekstual menulis "haruma al-dasi awa al- jas lainnahu..." (diharamkan dasi dan jas karena...). Contoh lain misalnya, para kiai NU dalam memberikan fatwa hukum sering memakai kaidah-kaidah fiqih atau ushul fiqih. Hanya saja masalahnya para kiai NU meskipun sudah memberi fatwa hukum berdasarkan kaidah fiqih mereka tidak mau kalau tidak ada landasan teks/nashnya. Jadi kelihatan tekstual tetapi sebetulnya penuangan teks itu selah melalui proses berfikir manhajy yang panjang dan njlimet.

Penuangan dasar teks ini, kemudian menimbulkan adanya kesan bahwa kai NU hanya bermazhab fi al-aqwal (dalam pendapat hukum) tidak fi al-manhaj (dalam metodologi). Tetapi sebenarnya, para ulama NU juga memegangi dan mempelajari manhaj Imam Syafi'i. Hal ini terlihat dalam kepustakaan mereka dan kurikulum pesantren yang diasuhnya. Kitab-kitab seperti Waraqat, Hujjat al-Wushul, Lam' al-Jawami', al-Mushtasyfa, al-Ashbah wa al-Nadha'ir, Qawaid Ibnu Abd al-Salam dan lain-lain banyak dijumpai pada koleksi kepustakaan mereka dan dibaca (diajarkan) di beberapa pesantren. Dalam hal ini metodologi itu digunakan utnuk memperkuat pemahaman atas masa'il furu'iyah (masalah yang tidak prinsip) yang ada pada kitab-kitab fiqih di samping sering juga diterapkan untuk mengambil langkah tandhir al-masa'il bi nadhairiha (menetapkan hukum sesuatu berdasarkan hukum atas sesuatu yang sama yang telah ada) tidak untuk istinbath al-ahkam min mashadiriha al-ashliyyah (penggalian hukum dari sumber pokoknya). Ini saya kira satu kekurangan tersendiri.

Bagaimanapun rumusan fiqih yang dikonstruksikan ratusan tahun lalu jelas tidak memadai untuk menjawab semua persoalan yang terjadi saat ini. Situasi sosial, politik dan kebudayaannya sudah berbeda. Dan hukum sendiri harus berputar sesuai dengan ruang dan waktu. Jika hanya melulu berlandaskan pada rumusan teks, bagaimana jika ada masalah hukum yang tidak ditemukan dalam rumusan tekstual fiqih? Apakah harus mauquf (tak terjawab)?. Padahal memauqufkan persoalan hukum, hukumnya tidak boleh bagi ulama (fuqaha). Disinilah perlunya "fiqih baru" yang mengakomodir permasalahan-permasalahan baru yang muncul dalam masyarakat. Dan untuk itu kita harus kembali ke manhaj yakni mengambil metodologi yang dipakai ulama dulu dan ushul fiqih serta qawa'id (kaidah-kaidah fiqih).
(Bersambung)


Pemikiran tentang perlunya "fiqih baru" ini sebetulnya sudah lama terjadi. Kira-kira sejak 1980-an ketika mulai muncul dan marak diskusi tentang "tajdid" karena adanya keterbatasan kitab-kitab fiqih klasik dalam menjawab persoalan kontemporer di samping munculnya ide konstekstualisasi kitab kuning. Sejak itu lalu berkali-kali diadakan halaqah (diskusi) yang diikuti oleh beberapa ulama Syuriyah dan pengasuh pondok pesantren untuk merumuskan "fiqih baru" itu. Kesepakatan telah dicapai, yaitu menambah dan memperluas muatan agenda bahtsul masa'il yang tidak saja meliputi persoalan hukum halal/haram melainkan juga hal-hal yang bersifat pengembangan pemikiran keislaman dan kajian kitab.

Dalam halaqah ini juga disepakati perlunya melengkapi referensi madzhab selain syafi'i dan perlunya penyusunan sistematika bahasan yang mencakup pengembangan metode-metode dan proses pembahasan untuk mencapai tingkat kedalaman dan ketuntasan suatu masalah. Rumusan "fiqih baru" ini kemudian di bahas secara intensif pada Muktamar ke-28 di Krapyak, Yogyakarta yang kemudian dikukuhkan dalam Munas Alim Ulama di Lampung, 1992. Di dalam hasil Munas tersebut diantaranya disebutkan perlunya bermazhab secara manhaji (metodologis) serta "merekomendasikan" para kiai NU yang sudah mempunyai kemampuan intelektual cukup untuk beristinbath langsung dari teks dasar. Jika tidak mampu maka diadakan ijtihad jama'i (ijtihad kolektif). Bentuknya bisa istinbath (menggali dari teks asal/dasar) maupun ilhaq (qiyas).


Pengertian istinbath hukum di kalangan NU bukan mengambil hukum secara langsung dari sumber aslinya, yaitu al-Qur'an dan Sunnah akan tetapi - sesuai dengan sikap dasar bermazhab - mentathibkan (memberlakukan) secara dinamis nash-nash fuqaha dalam konteks permasalahan yang dicari hukumnya. Sedangkan istinbath dalam pengertian pertama (cenderung ke arah perilaku ijtihad yang oleh ulama NU dirasa sangat sulit karena keterbatasan-keterbatasan yang disadari oleh mereka. Terutama di bidang ilmu-ilmu penunjang dan pelengkap yang harus dikuasai oleh yang namanya muj'tahid. Sementara itu, istinbath dalam pengertiannya yang kedua, selain praktis, dapat dilakukan oleh semua ulama NU yang telah mampu memahami ibarat kitab-kitab fiqih sesuai dengan terminologinya yang baku. Oleh karena itu, kalimat istinbath di kalngan NU terutama dalam kerja bahtsu masa'il-nya Syuriyah NU tidak populer karena kalimat itu telah populer di kalangan ulama NU dengan konotasinya yang pertama yaitu ijtihad, suatu hal yang oleh ulama Syuriyah tidak dilakukan karena keterbatasan pengetahuan. Sebagai gantinya dipakai kalimat bahtsul masa'il yang artinya membahas masalah-masalah waqi'ah (yang terjadi) melalui maraji'(referensi) yaitu kutubul-fuqaha (kitab-kitab karya para ahli fiqih).

Kenyataan mengenai terlalu dominannya Mazhab Syafi'i memang ada. Pendapat para ulama Syafi'iyah masih cukup dominan dalam forum bahtsul masa'il NU. Namun demikian perlu saya jelaskan bahwa dominasi Sayfi'i bukan berarti ulama NU menolak pendapat (aqwal) ulama di luar Sayif'iyyah. Hal itu dilakukan lantaran para kiai NU memang tidak mempunyai referensi lain di luar mazhab Syafi'i semisal kitab al-Mudawanah (Imam Malik?), Kanzal al-Wushul (Bazdawi al-Hanafi), al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam (Ibnu Hazm), Raudhat al-Nadhir wa Jannat all-Munadhir (Ibnu Qudamah al-Hanbali) dan lain-lain. Karena itu jangan heran jika keputusan bahtsul masa'il selalu sarat dengan kitab-kitab Syafi'i mulai dari yang paling kecil semisal Safinat al-Shalah kaya Imam Nawawi Banten sampai dengan yang paling besar seperti al-Um atau al-Majmu'. Sangat sulit dijumpai dalam kepustakaan mereka kitab-kitab lain di luar Syafi'i kecuali sebagian kecil ulama. Ini karena di samping harganya belum terjangkau juga lantaran kitab-kitab itu masih sulit diperoleh di Indonesia. Seandainya mereka mempunyai referensi lain selain mazhab Syafi'i tentu mereka akan menerima sepanjang bias dinalar dan tidak bertentangan dengan akar cultural masyarakat setempat.Hal ini terbukti dengan keputusan bahtsul masa'il NU belakangan ini yang diwarnai dengan pendapat di luar mazhab Syafi'i.


Walaupun terlihat kuat pengaruh mazhab Syafi'i bukan berarti menolak apalagi antipati terhadap ulama lain. Sejak dulu para kiai tidak mengharuskan Syafi'i saja. Satu misal, masyarakat di banyak daerah menggunakan qaul di luar Syafi'i mengenai padi yang belum dizakati tapi si penuai padi sudah diberi upah. Padahal, memberi upah kepada penuai padi (istilah jawa derep) sementara padi belum di zakati menurut Syafi'i tidak boleh. Akan tetapi sejak dulu, sejak saya masih kecil, upah selalu di berikan sebelum padi di zakati. Pendapat ini diambail dari Imam Ahmad. Semua kiai memakai itu karena mereka umumnya petani. Hanya saja intiqal (pindah) ke mazhab-mazhab itu masih menggunakan referensi kitab Syafi'iyah yang menyinggung mazhab lain dan mereka tidak pernah mengambil referensi langsung dari mazhabnya. Baru sekarang ada perkembangan sejumlah kiai sudah mengoleksi kitab-kitab non-Syafi'iyah. Jadi persoalan ini jangan lantas dijadikan dasar kritik. Memang mereka tidak memiliki kitab lain. Misalnya, Kiai Bisri Syansuri pada saat membolehkan KB berpegang pada pendapat Gahazali yang menyatakan kebolehan KB, meskipun dengan motifasi supaya istri awet muda. Pendapat ini sangat luar biasa sebab dulu kiai-kiai lain masih ketat soal ber-KB ini. Secara budaya, NU sudah biasa mempraktikkan pendapat di luar Syafi'i.
(Bersambung)

*Penulis adalah Rais 'Aam Syuriah PBNU

Bahsul Masail dan Istinbath Hukum NU
Sabtu, 3 Mei 2003 13:08 WIB


Oleh KH. MA. Sahal Mahfudz*
Bagian terakhir

Memang harus diakui keputusan Lampung belum operasional di seluruh wilayah NU karena di samping sosialisasinya masih lemah juga keterbatasan referensi yang tersedia. Meskipun begitu sudah ada perkembangan misalnya soal intiqal atau pindah mazhab. Dulu takut talqif sekarang sudah tidak lagi.
Saya masih ingat perkataan Kiai Wahab, meskipun kelakar tapi sangat menarik. Suatu saat (ketika saya masih di pesantren) saya sowan ke tempat Kiai Bisri Syansuri di Jombang yang kebetulan di sana sedang ada pertemuan pengurus Syuriyah PB NU. Di sana ada Kiai Wahab, Kiai Jalil Kudus, Kiai Dahlan dan lain-lain sedang membahas sisa-sisa bahtsul masa'il yang belum di bahas di Muktamar.

Pada waktu itu, Kiai Bisri dan Kiai Wahab pertentangan (berdebat sengit) membahas soal status Yayasan Yamualim di Semarang yang mengurusi ibadah haji. Kiai Bisri menentang pendirian Yayasan itu karena tergolong "muamalat yang tidak jelas". Sementara Kiai Wahab membolehkan karena di samping omsetnya cukup besar, NU juga sangat memerlukannya. Saat itu Kiai Wahab sempat bilang "Pekih itu kalau rupek ya di okeh-okeh" (fiqih itu kalau menyempitkan ya diupayakan agar longgar). Pernyataan ini memang kelakar tetapi mengandung nilai filosofis yang tinggi. Maksudnya, fiqih itu merupakan produk ijtihady. Karena produk ijtihad maka keputusan fiqih bukan barang sakral, yang tidak boleh di ubah meskipun situasi sosial budayanya sudah melaju kencang.

Pemahaman yang mensakralkan fiqih jelas keliru. Dimana-mana yang namanya fiqih adalah "al-ilmu bi al-ahkam al-syar'iyah al-amalaiyah al-muktasab min adillatiha tafshiliyah". Definisi fiqih sebagai al-muktasab (sesuatu yang digali) menunjukkan pada sebuah pemahaman bahwa fiqih lahir melalui serangkaian proses penalaran dan kerja intelektual yang panjang sebelum pada akhirnya dinyatakan sebagai hukum praktis. Produk fiqih tidak hanya hasil dari penalaran intelektual (rasionalisasi) berdasarkan logika-logika keilmuan tertentu tetapi juga kerja ilmiah. Contohnya adalah penggunaan metode riset ('istiqra') yang dilakukan Imam Syafi'i untuk melahirkan hukum fiqih tentang menstruasi (haidl).

Para ulama klasik juga sering melibatkan disiplin ilmu lain diluar fiqih untuk menentukan status hukum masalah tertentu. Misalnya ilmu falak (hisab) dan ikhtilaf al-mathla' dalam hal penentuan awal Ramadhan dan Syawal, ma'rifat al-qiblah dan ma'rifar al- waqti dalam hal shalat dan penemuan obat-obatan dalam kontrasepsi (man' al-hamli, ibhta' al hamli) dalam masalah nikah. Semua itu menunjukkan bahwa fiqih merupakan "produk ijtihady".


Sebagai produk ijtiahd, maka sudah sewajarnya jika fiqih terus berkembang lantaran pertimbangan-pertimbangan sosio-politik dan sosio-budaya serta pola pikir yang melatarbelakangi hasil penggalian hukum sangat mungkin mengalami perubahan. Para peletak dasar fiqih, yakni imam mazhab (mujtahidin) dalam melakukan formasi hukum Islam meskipun digali langsung dari teks asal (al-Quran dan Hadis) namun selalu tidak lepas dari pertimbangan "konteks lingkungan" keduanya baik asbab al-nuzul maupun asbabul- wurud. Namun konteks lingkungan ini kurang berkembang dikalangan NU. Ia hanya dipandang sebagai pelengkap (komplemen) yang memperkuat pemahaman karena yang menjadi fokus pembahasannya adalah norma-norma baku yang telah dikodifikasikan dalam kitab-kitab, furu' al-fiqh. Fungsi syarah, hasyiyah, taqrirat dan ta'liqat juga dipandang sebagai "figuran" yang hanya berfungsi memperjelas pemahaman muatan teks. Meskipun di dalam kitab-kitab syarah, hasyiyah, ta'liqat sering ditemukan adanya kritik, penolakan (radd), counter, perlawanan (i'tiradl), atas teks-teks matan yang dipelajari dan dibahas, namun hal itu kurang mendapat kajian serius di lingkungan NU.
Karena sadar bahwa fiqih merupakan produk ijtihad maka para fuqaha terdahulu baik al-a'immah al-arba'ah maupun yang lain meskipun berbeda pandangan secara tajam, mereka tetap menghormati pendapat lain, tidak memutlakkan pendapatnya dan menganggap ijtihad fuqaha lain sebagai keliru. Mereka tetap berpegang pada kaidah al-ijtihad la yunqadlu bi al-ijtihad, yakni bahwa suatu ijtihad tidak bisa dibatalkan oleh ijtihad lain. Masing-masing mempunyai kelebihan dan kelemahan. Hasil ijtihad seorang fuqaha mungkin tidak pas pada ruang dan waktu tertentu tetapi sesuai untuk ruang dan waktu yang berbeda. Disinilah fiqih menunjukkan wataknya yang fleksibel, dinamis, realistis, dan temporal, tidak kaku dan tidak pula permanen.

Dalam konteks ini pula maka kriteria mu'tabar yang sudah direduksi menjadi hanya melulu kitab-kitab mazhab empat sebetulnya tidak senafas dengan semangat fiqih sebagai produk ijtihad. Mengapa demikian? Sebab kriteria mu'tabar dan ghairu mu'tabar berarti disitu ada pandangan yang mengunggulkan pendapat imam tertentu dan merendahkan pendapat imam lain. Ini sudah menyalahi kaidah "al-ijtihad la yunqadlu bi al-ijtihad" diatas. Masalah kutub al-mu'tabarah ini dirumuskan di Muktamar Situbondo (tahun 1984). Saat itu saya sebagai ketua komisi dan masih sebagai Rais Syuriyab PWNU Jateng. Kutubul-mu'tabarah itu maksudnya kitab-kitab Ahlussunah dan dipersempit lagi kitab-kitab madzahib. Kitab-kitab di luar ahl madzahib tidak boleh dipakai. Contohnya kitab-kitab yang mengkritik tawasul, praktik tarekat,kewalian dan lain-lain seperti karya Ibnu Taimiyah atau Ibnul Qoyyim.

Saat itu saya sudah menentang pendapat ini. Waktu itu saya menggunakan kaidah atau pepatah Arab: khuz ma shafa watruk ma qadlara (ambillah yang jernih dan tinggalkan yang keruh). Para kiai waktu itu tidak setuju pendapat saya dan mereka mengambil sikap syaddan li dzari'ah (preventif). Dengan alasan supaya umat tidak terjerumus maka kitab-kitab tersebut dilarang saja. Karena saya kalah suara, saya tidak bisa berbuat lebih. Padahal yang namanya pendapat tentu bisa salah bisa benar karena itu jangan menggunakan pendekatan like & dislike, ini mu'tabar, itu tidak. Alasan saya, disamping untuk menghindari fanatisme bermazhab juga kitab-kitab yang ditolak itu tidak semuanya bertentangan dengan Sunni. Hanya mungkin pada bagian tertentu saja yang kebetulan berbeda. Hanya gara-gara dalam bab "tawasul" kitab ini mengecamnya, mengkritik para wali, lantas semua kitab tulisan mereka tidak boleh dipakai. Prinsipnya mana yang "reasonable" dan "applicable" bisa digunakan. Tentu tetap harus mempertimbangakn latar budaya masyarakat agar kita bisa diterima oleh semua komunitas yang majemuk ini.

Lebih jauh, harus ditegaskan bahwa muara fiqih adalah terciptanya keadilan sosial di masyarakat. Sehingga Ali bin Abi Thalib pernah berkata: "Dunia, kekuasaan, negara, bisa berdiri tegak dengan keadilan meskipun ma'a al-kufri dan negara itu akan hancur dengan kezaliman meskipun ma'a al-muslimin". Ibnu Taimiyah juga pernah berkata: "Allah akan menegakkan negara yang adil meskipun (negara) kafir dan Allah akan menghancurkan negara yang zalim meskipun (negara) Muslim". Dalam kerangka berfikir ini, maka seandainya ada produk fiqih yang tidak bermuara pada terciptanya sebuah keadilan di masyarakat maka harus ditinggalkan. Misalnya "fiqih politik" (fiqh siyasah) yang seirngkali diktum-diktumnya tidak seirama dengan gagasan demokrasi yang mensyaratkan keadilan dan persamaan hak manusia di depan hukum. Rumusan fiqih siyasah klasik biasanya menempatkan kelompok non-Muslim sebagai "kelas dua" bukan sebagai entitas yang sederajat dengan kaum Muslim. Saya rasa pandangan ini selain bertabrakan dengan gagasan demokrasi modern juga bertentangan dengan ide negara-bangsa (nation-state) seperti Indonesia. Profesionalisme, kemampuan atau kapabilitas mestinya yang menjadi pilihan utama, bukan Muslim atau tidak, bukan laki-laki atau perempuan.

Ada satu contoh kecil. Suatu hari saya menitipkan barang kepada seorang yang dapat dipercaya dan kebetulan ia bukan Muslim. Pertanyaannya apakah boleh menitipkan barang kepada dia? Kan lucu kalau tidak boleh. Tentu tidak semua persoalan harus melibatkan non-Muslim dengan dalil demokrasi. Kalau mengenai urusan-urusan yang berkaitan dengan permasalahan umat Islam seperti penyusunan UU zakat tentu mereka tidak boleh dilibatkan, sebab bukan kompetensinya. Jadi, prinsipnya pada kata keadilan (kemaslahatan). Maka kalau ada fiqih-fiqih klasik yang tidak relevan atau tidak bermuara pada keadilan maka harus dibuat fiqih baru. Harus diingat bahwa yang namanya fiqih itu mesti ijtihady. Fiqih siyasah itu sendiri bukan sebatas kekuasaan tapi lebih pada kebijakan-kebijakan yang dapat menimbulkan kemaslahatan umum. Rasul sendiri pernah berkata: "Antum a'lamu biumri dunyakum". Artinya, pada wilayah "non-ibadah" semisal kepolitikan, umat Islam diberi kebebasan penuh untuk me-rumuskan dasar-dasar politik yang adil dan egaliter sehingga bisa diterima semua pihak. Rumusan itu harus mengacu pada prinsip maqashid syari'ah yang meliputi lima hal, yaitu (1) melindungi agama (hifdz al-din), (2) melindung jiwa dan keselamtan fisik (hifdz al-nafs), (3) melindungi kelangsungan keturunan (hifdz al-nasl), (4) melindungi akal pikiran (hifdz al-‘aql), (5) melindungi harta benda (hifdz al-mal). Rumusan lima maqashid ini memberikan pemahaman bahwa Islam tidak mengkhususkan perannya hanya dalam aspek pemyembahan Tuhan dalam arti yang terbatas pada serangkaian perintah dan larangan yang tidak dapat secara langsung dipahami manfaatnya. Dalam kerangka pandang ini,maka aspek kehidupan apapun yang melingkupi kehidupan manusia (kecuali yang bersifat ubudiyah murni) harus disikapi dengan meletakkan kemaslahatan sebagai bahan pertimbangan. Karena dengan hanya menjaga stabilitas kemaslahatan inilah tugas-tugas peribadatan dilaksanakan dengan baik.
***

Demikianlah catatan pengantar dari saya, selanjutnya ke depan para ahli bahtsul masa'il harus mengantisipasi kemajuan dan perkembangan yang terjadi di masyarakat. Artinya bahwa kebutuhan manusia dan proses perubahan itu akan terus bergulir secara cepat. Kalau tidak cepat direspons kita akan ketinggalan dan nanti akan ada satu masalah yang mauquf.. Dan kalau sampai ada masalah hukum yang mauquf maka hukumnya dosa bagi para ahli fiqih. Dalam merumuskan masalah hukum harus tetap berpegang pada prinsip maqashid al-syari'ah serta memperhatikan kaidah-kaidah hukum yang lebih bersifat nilai (baca: legal value). Nilai-nilai yang dimaksud adalah keadilan, kejujuran, kebebasan, persamaan di muka hukum, perlindungan hukum terhadap masyarakat tak seagama serta menjunjung tinggi supremasi hukum Allah. Dengan begitu keputusan bahtsul masa'il tidak kehilangan relevansi dengan semangat demokrasi dan pluralisme.

Atas penerbitan buku bunga rampai yang membahas mengenai tradisi system bahtsul masa'il NU yang umumnya ditulis para generasi muda NU ini saya sangat menyambut positif jika ditulis dengan jujur dan berdasarkan pada fakta yang terjadi. Diharapkan dengan penerbitan buku ini semakin memicu dan meningkatkan profesionalitas dan kinerja para ahli bahtsul masa'il dalam menjalankan kerja ilmiahnya.

Upah Pengurusan Kurban,Mu’amalah pada waktu shalat Jum’at,Menyegerakan membagikan harta pusaka,Goni-gini

HASIL BAHTSUL MASAIL KONFERENSI KE-3 MWC NU KEC. BANJARAN


  1. Masalah : Upah Pengurusan Kurban
DESKRIPSI MASALAH:
Suatu ketika si Pulan menitipkan seekor kambing seharga Rp 1.200.000,- sebagai kurban kepada panitia yang ditunjuk di suatu DKM. Dari kambing tersebut, si Pulan boleh mengambil 1/3 nya atau sekitar seharga Rp 400.000,-. Pada waktu itu biaya/upah pengurusan hewan kurban sebesar Rp 50.000,-.
Si pulan tidak mengambil yang 1/3 nya dan dia tidak memberikan upah/biaya pengurusan hewan kurban, tetapi panitia/penyembelih hewan kurban diberi kulit/kepala/daging sebagai upahnya.
PERTANYAAN:
a) Bolehkah memberikan bagian dari hewan kurban sebagai upah pengurusan kurban?
b) Bagaimana kurbannya si Pulan sah atau tidak?
JAWABAN:
a) Tidak boleh
b) Sah tetapi tidak mendapat pahala
IBARAT:

أ‌- واعلم أن موضع الأضحية الانتفاع فلا يجوز بيعها بل ولا بيع جلدها ولا يجوز جعله أجرة للجزار وإن كانت تطوعا بل يتصدق به المضحي أو يتخذ منه ما ينتفع به من خف أو نعل أو دلو أو غيره ولا يؤجره والقرن كالجلد وعند أبي حنيفة رحمه الله أنه يجوز بيعه ويتصدق بثمنه (Kifayatul Akhyar 2:242)
ب‌- ولا يجوز جعل الجلد وغيره اجرة للجزار بل يتصدق به المضحي والمهدي) المجموع شرح المهذب( 8/420,
ت‌- وإنما أمره ألا يعطي الجازر منها, لأن أجرة الجازر على المهدى. (البيان للعمراني, 4/434)
ث‌- ولا إعطاؤه الجزّار أجرة. (أسنى المطالب لزكريا الأنصاري, 3/356)
ج‌- عن علي رضي الله عنه قال أمرني النبي صلى الله عليه و سلم أن أقوم على البدن ولا أعطي عليها شيئا في جزارتها. (متفق عليه)
ح‌- عن أبي هريرة رضي الله عنه قال : قال رسول الله صلى الله عليه و سلم : من باع جلد أضحيته فلا أضحية له. (أخرجه الحاكم والبيهقي)
كفاية الأخيار - (ج 1 / ص 533)
واعلم أن موضع الأضحية الانتفاع فلا يجوز بيعها بل ولا بيع جلدها ولا يجوز جعله أجرة للجزار وإن كانت تطوعا بل يتصدق به المضحي أو يتخذ منه ما ينتفع به من خف أو نعل أو دلو أو غيره ولا يؤجره والقرن كالجلدوعند أبي حنيفة رحمه الله أنه يجوز بيعه ويتصدق بثمنه


  1. Masalah ; Mu’amalah pada waktu shalat Jum’at
DESKRIPSI MASALAH:
Ketika adzan zhuhur berkumandang pada hari Jum’at sebagai panggilan untuk melaksanakan shalat Jum’at, ada seseorang yang belanja (transaksi jual beli) di sebuah warung (super market), padahal waktu itu sekitar jam 11.30 WIB – 13.00 WIB sedang berlangsung ibadah shalat jum’at.
PERTANYAAN:
a) Bolehkah transaksi Jual beli dan atau sewa menyewa atau hal lainnya pada waktu pelaksanaan shalat Jum’at?
b) Apakah hukum jual beli dan atau sewa menyewanya pada waktu tersebut dapat dikategorikan haram?
JAWABAN:
a) Boleh bagi orang yang tidak tertaklif wajib shalat Jum`at. Tidak boleh bagi orang yang tertaklif wajib shalat jum`at.
b) Hukum jual beli/sewa menyewanya Haram, tetapi transaksinya tetap Sah. Kecuali menurut Imâm Mâlik, Imâm Hambali dan Imâm Dâwud al Zhâhiriy, mereka menyatakan fasid.
IBARAT:
أ‌- ولا يكره البيع يوم الجمعة قبل الزوال, أما بعد الزوال, فإن كان قبل ظهور الإمام على المنبر يكره, وإن كان بعد الظهور الإمام يحرم......أما البيع فلا يبطل, لأن النهي غير مختصّ بالعقد.(التهذيب للبغوي, 2/335)
ب‌- فإن التحريم إنما يختص بأهل فرض الجمعة....وكل موضع يحرم فيه البيع إذا وقع البيع فيه, صح البيع, وقال مالك وأحمد وداود: لا يصح. (البيان للعمراني, 2/536-537)
ت‌- منع الله عز وجل منه عند صلاة الجمعة، وحرمه في وقتها على من كان مخاطبا بفرضها.... وقال الزمخشري في تفسيره: إن عامة العلماء على أن ذلك لا يؤدي فساد البيع. قالوا: لان البيع لم يحرم لعينه، ولكن لما فيه من الذهول عن الواجب، فهو كالصلاة في الأرض المغصوبة والثوب المغصوب، والوضوء بماء مغصوب. وعن بعض الناس أنه فاسد. (تفسير القرطبي, 18/107-108 )

  1. Masalah ; Menyegerakan membagikan harta pusaka
DESKRIPSI MASALAH:
Suatu ketika si Pulan mati dengan meninggalkan tirkah (harta pusaka). Setelah diambil untuk biaya pengurusan jenazah, utang piutang dan wasiatnya dari tirkah tersebut, masih ada sisanya yang harus dibagikan kepada ahli waristnya.
PERTANYAAN:
a) Apakah sisa dari tirkah tersebut harus segera dibagikan kepada Ahli warisnya?
b) Kalau tidak segera dibagikan, apakah termasuk dosa?
JAWABAN:
a) Harus segera dibagikan, setelah dikurangi biaya penyelenggaraan jenazah, washiyat dan pelunasan hutang-hutangnya. Menurut Hadits Fi`liyah dan Ijma` ulama pelunasan hutang didahulukan dari pada pelaksanaan washiyat.
b) Tafsil:
· Apabila terdapat `udzur untuk membagikan sesegera mungkin, maka tidak menjadi dosa.
· Apabila tidak terdapat `udzur maka bisa menjadi dosa. Terlebih jika sampai menimbulkan masalah sehingga terdapat beberapa pihak yang dirugikan.
IBARAT:
أ‌- ... مِنْ بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُوصِي بِهَا أَوْ دَيْنٍ .... الآية (النساء: 11)
ب‌- وذهب الجمهور إلى أن وقت انتقال تركة المريض مرض الموت إلى ورثته ، يكون عقب الموت بلا تراخ. (الموسوعة الفقهية الكويتية, 11/215)

  1. Masalah : Goni-gini
DESKRIPSI MASALAH”
Dalam sebuah rumah tangga, suami dan istrinya berpenghasilan tetap. Penghasilan suami ± 3 jt rupiah/bulan, dan istrinya ± 2,5 jt rupiah/bulan. Pengeluaran keluarga ± 2,5 jt rupiah/bulan.
Kemudian pada suatu ketika terjadi sebuah perceraian, atau salah satu dari mereka meninggal.

PERTANYAAN:
Bagaimana membagi kekayaan suami-istri tersebut yang notabennya merupakan hasil jerih-payah mereka berdua?
JAWABAN:
Adapun yang termasuk harta gono gini adalah harta yang diperoleh selama perkawinan, hal ini berdasarkan Pasal 35 ayat (1) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan.
Tidak ada aturan khusus dalam hukum syara` tentang pembagian harta gono gini (syirkah al amlâk), namun dalam KHI (Kompilasi Hukum Islam) terdapat ketentuan bahwa harta tersebut dibagi masing-masing 50%, dengan tanpa melihat besaran andil dari kedua belah pihak.
IBARAT:
إذا حصل اشتراك في لمة ..... فإن كان لكل متاع أو لم يكن لأحد متاع واكتسبا, فإن تميز فلكل كسبه وإلا اصطلحا, فإن كان النماء من ملك أحدهما في هذه الحالة فالكل له وللباقين الأجرة ولو بالغيّن لوجود الإشتراك.(هامش السيد مصطفى الذهني في حاشية الشرقاوي على التحرير, 2/109)
KHI pasal 97 :
Janda atau duda cerai hidup masing-masing berhak seperdua dari harta bersama sepanjang tidak ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan.


Catatan:
Untuk menghindari pemahaman yang terlalu jauh (menyimang) dari pendapat Madzahibul Arba’ah, dimohon dalam menjawabmasail tersebut, agar menyebutkan dan mencantumkan Maroji’nya (Kitab-Kitab Referensi) lengkap dengana nomor jilid dan halamannya.