Total Pageviews

Powered By Blogger

Links

Popular Posts

Tuesday, December 13, 2011

Lembaga Bahtsul Masail Nahdlatul Ulama (LBM-NU)

Lembaga Bahtsul Masail Nahdlatul Ulama (LBM-NU)

Lembaga Bahtsul Masail Nahdlatul Ulama atau disingkat LBM NU adalah sebuah lembaga otonom Organisasi Masyarakat Nahdlatul Ulama yang berkecimpung pada pembahasan masalah-masalah kekinian yang berkembang di Masyarakat dengan berpedoman pada Al Quran dan Al Hadits dan Kutub at Turats para mujtahid terdahulu.

Situs ini dikembangkan atas ide DR.KH.Agus Zainal Arifin salah seorang Wakil Ketua Rabithah Ma’ahid al Islam Pusat, untuk mensosialisasikan hasil musyawarah para kyai dalam menyikapi masalah-masalah kemasyarakatan ditinjau dari sudut pandang fiqh syariah.

Dalam Situs ini terdapat tiga macam hasil musyawarah bahtsul masail yaitu

  1. Hasil Bahtsul Masail yang diselenggarakan oleh LBM NU Wilayah Jawa Timur yang dikumpulkan dalam rubrik TOPIK
  2. Hasil Bahtsul Masail yang diselenggarakan oleh LBM NU Cabang se Jawa Timur yang dikumpulkan dalam rubrik DAERAH
  3. Hasil Bahtsul Masail yang diselenggarakan oleh Forum Musyawarah Pondok Pesantren Se Jawa Madura atau disingkat FMPP yang dikumpulkan dalam rubrik FMPP.

Ketiga lembaga ini masing-masing berdiri secara otonom, oleh karena itu dimungkinkan hasil bahtsul masail yang diputuskan ada yang memiliki kesamaan pembahasan atau bahkan ada sedikit banyak perbedaan keputusan, namun demikian kesemuaannya dapat dipertanggungjawabkan karena telah melalui pembahasan yang matang.

HASIL BAHTSUL MASA'IL NU JATIM

HASIL BAHTSUL MASA'IL NU JATIM


Permasalahan: Para jama’ah haji yang meninggal sebelum menyelesaikan ibadah hajinya. Misalnya meninggal sebelum melaksanakan ibadah umroh, atau pada waktu melaksanakan umroh, atau meninggal setelah umroh, tetapi belum melaksanakan ihrom haji bagi haji tamattu’.

Pertanyaan: Apakah jama’ah haji yang meninggal tersebut, atau para keluarga/ahli waris berkewajiban ihjaj, apabila orang yang meninggal termasul orang mampu, dsehingga harta tirkahnya tidak boleh diwaris sebelum hajinya dipenuhi?



Jawab:

Ahli waris atau orang yang diwasiati, wajib “ihjaj” apabila hajinya fardlu dan setelah istiqror (sudah mampu sebelum tahun dia melaksanakan haji tersebut). Adapun cara “ihjaj” menurut qoul Jadid, mulai dari awal lagi. Dan menurut qoul Qodim, dengan cara meneruskan hajinya, sedang harta tirkahnya bisa dibagi setelah diambil untuk biaya haji.



Dasar pengambilan:

1- 33روضة الطالبين الجزء الثالث الصحيفة

:، ما نصّه:

وإذا تأخر بعد الوجوب فمات قبل حج الناس تبين عدم الوجوب لتبين عدم الإمكان. وإن مات بعد حج الناس استقر الوجوب ولزم الإحجاج من تركته.

2-30روضة الطالبين الجزء الثالث الصحيفة

: ، ما نصّه:

أما إذا مات الحاج عن نفسه في أثنائه فهل يجوز البناء على حجه، قولان: الأظهر الجديد لا يجوز كالصوم والصلاة. والقديم يجوز. فعلى الجديد يبطل المأتيّ به إلا في الثواب ويجب الإحجاج عنه من تركته إن كان استقر في ذمته.

3-135 شرح المهذب المجلد السابع الصحييفة

: ، مانصه:

(فرع) إذا مات الحاج عن نفسه في أثنائه هل تجوز النيابة على حجه؟ فيه قولان مشهوران، الأصح الجديد، لاتجوز كالصلاة والصوم. والقديم يجوز لدخول النيابة فيه. فعلى الجديد يبطل المأتيّ به إلاّ في الثوب. ويجب الإحجاج عنه من تركته إن كان قد استقرّ الحج في ذمته. وإن كان تطوّعا لم يستطع إلاّ هذه السنة لم يجب.

4-2? الميزان الكبرى الصحيفة

: ، مانصه:

واتقوا على من لزمه الحج فلم يحجّ ومات قبل التمكن من آدائه سقط عنه الفرض.

5-54 سلّم التوفيق الصحيفة

: ، ما نصه:

ولا تصح قسمة تركة ميت ولا بيع شيئ منها ما لم توفّ ديونه ووصاياه، وتخرج أجرة حجه إن كان عليه

BAHTSUL MASA'IL THN 1996 Di Pon Pes Sukorejo Asembagus Situbondo Jawa Timur

Bahsul Masail dan Istinbath Hukum dalam NU : Oleh KH. MA. Sahal Mahfudh

Bahsul Masail dan Istinbath Hukum dalam NU

Kamis, 23 April 2009 11:59:15 - oleh : admin

Oleh KH. MA. Sahal Mahfudh

Jakarta.NU.Online.
Nahdlatul Ulama (NU), sebagai jam'iyah sekaligus gerakan diniyah islamiyah dan ijtima'iyah, sejak awal berdirinya telah menjadikan faham Ahlussunah Wal Jama'ah sebagai basis teologi (dasar beraqidah) dan menganut salah satu dari empat mazhab: Hanafi, Maliki, Syafi'i dan Hambali sebgai pegangan dalam berfiqih. Dengan mengikuti empat mazhab fiqih ini, menunjukkkan elastisitas dan fleksibilitas sekaligus memungkinkan bagi NU untuk beralih mazhab secara total atau dalam beberapa hal yang dipandang sebagai kebutuhan (hajat) meskipun kenyataan keseharian ulama NU menggunakan fiqih masyarakat Indonesia yang bersumber dari mazhab Syafi'i. Hampir dapat dipastikan bahwa Fatwa, petunjuk dan keputusan hukum yang diberikan oleh ulama NU dan kalangan pesantren selalu bersumber dari mazhab Syafi'i. Hanya kadang-kadang dalam keadaan tertentu untuk tidak terlalu melawan budaya konvensional - berpaling ke mazhab lain.

Dengan menganut salah satu dari empat mazhab dalam fiqih, NU sejak berdirinya memang mengambil sikap dasar untuk "bermazhab". Sikap ini secara konsekuen ditindaklanjuti dengan upaya pengambilan hukum dari referensi ("maraji') berupa kitab-kitab fiqih yang pada umumnya dikerangkakan secara sistematik dalam beberapa komponen: ‘ibadah, mua'amalah, munakahah (hukum keluarga) dan jinayah/qadla (pidana/peradilan). Dalam hal ini para ulama NU dan forum Bahtsul masa'il mengarahkan orientasinya dalam pengambilan hukum kepada aqwal al-mujtahidin (pendapat para mujtahid) yang muthlaq ataupun muntashib. Bila kebetulan ditemukan qaul manshush (pendapat yang telah ada nashnya), maka qaul itulah yang dipegangi. Kalau tidak ditemukan, maka akan beralih ke qaul mukharraj (pendapa thasil takhrij). Bila terjadi khilaf (perbedaan pendapat) maka diambil yang paling kuat sesuai dengan pentarjihan para ahlul-tarjih. Mereka juga sering mengambil keputusan sepakat dalam khilaf akan tetapi juga mengambil sikap untuk menentukan pilihan sesuai dengan situasi kebutuhan hajjiyah tahsiniyah (kebutuhan sekunder) maupun dlaruriyah (kebutuhan primer).

Dalam memutuskan sebuah hukum, sebagaimana dimaklumi, NU mempunyai sebuah forum yang disebut bahtsul masa'il yang dikoordinasi oleh lembaga Syuriyah (legislatif). Forum ini bertugas mengambil keputusan tetang hukum-hukum Islam baik yang berkaitan dengan masa'il fiqhiyah (masalah fiqih) maupun masalah katauhidan dan bahkan masalah-masalah tasawuf (tarekat). Forum ini biasanya diikuti oleh Syuriyah dan ulama-ulama NU yang berada di luar struktur organisasi termasuk para pengasuh pesantren. Masalah-masalah yang dibahas umumnya merupakan kejadian (waqi'ah) yang dialami oleh anggota masyarakat yang diajukan kepada Syuriyah oleh organisasi ataupun perorangan. Masalah-masalah itu setelah di inventarisasi oleh Syuriyah lalu diadakan skala prioritas pembahasannya. Dan apabila dalam pembahasan itu terjadi kemacetan (mauquf) maka akan diulang pembahasannya dan kemudian dilakukan ke tingkat organisasi yang lebih tinggi: dari Ranting ke Cabang, dari Cabang ke Wilayah, dari Wilayah ke Pengurus Besar dan dari PB ke Munas dan pada akhirnya ke Muktamar.

Dari segi historis maupun operasionalitas, bahtsul masa'il NU merupakan forum yang sangat dinamis, demokratis dan "berwawasan luas". Dikatakan dinamis sebab persoalan (masa'il) yang dibahas selalu mengikuti perkembangan (trend) hukum di masyarakat. Demokratis karena dalam forum tersebut tidak ada perbedaan antara kiai, santri baik yang tua maupun muda. Pendapat siapapun yang paling kuat itulah yang diambil. Dikatakan "berwawasan luas" sebab dalam forum bahtsul masa'il tidak ada dominasi mazhab dan selalu sepakat dalam khilaf. Salah satu contoh untuk menunjukkan fenomena "sepakat dalam khilaf" ini adalah mengenai status hukum bunga bank. Dalam memutuskan masalah krusial ini tidak pernah ada kesepakatan. Ada yang mengatakan halal, haram atau subhat. Itu terjadi sampai Muktamar NU tahun 1971 di Surabaya. Muktamar tersebut tidak mengambil sikap. Keputusannya masih tiga pendapat: halal, haram atau subhat. Ini sebetulnya merupakan langkah antisipatif NU. Sebab ternyata setelah itu berkembang berbagai bank dan lembaga keuangan modern yang dikelola secara profesional. Orang pada akhirnya tidak bisa menghindar dari persoalan bank.

***

Secara historis, forum bahtsul masa'il sudah ada sebelum NU berdiri. Saat itu sudah ada tradisi diskusi di kalangan pesantren yang melibatkan kiai dan santri yang hasilnya diterbitkan dalam buletin LINO (Lailatul Ijtima Nahdlatul Oelama). Dalam buletin LINO, selain memuat hasil, bahtsul masa'il juga menjadi ajang diskusi interaktif jarak jauh antar para ulama. Seorang kiai menulis ditanggapi kiai lain, begitru seterusnya. Dokumentasi tentang LINO ini ada pada keluarga (alm) KH. Abdul Hamid, Kendal. Lewat LINO ini pula ayah saya (KH. Mahfudh Salam) saat itu bertentangan dengan Kiai Murtadlo, Tuban mengenai hukum menerjemahkan khutbah ke dalam bahasa Jawa atau Indonesia. Itu bukan berarti tukaran (konflik), tetapi hannya sebatas berbeda pendapat dan saling menghormati. Kiai Mahfudh membolehkan khutbah diterjemahkan sementara Kiai Muratadlo tidak. Sampai sekarang tradisi khutbah di daerah Tuban tidak ada yang diterjemahkan.

Sering muncul krtik bahwa forum bahtsul masa'il NU tidak dinamis, hanya berorientasi pada qaul (pernyataan verbal) ulama, bukan manhaj (metodologi) dan Syafi'iyyah sentris. Krtitik tersebut sesungguhnya tidak seluruhnya benar. Misalnya dulu forum bahtsul masa'il mengharamkan orang Islam memakai jas dan dasi karena dianggap tasyabbuh (menyerupai) dengan orang kafir. Tetapi KH. Wahab Khasbullah sendiri setelah merdeka selalu memakai sarung dan dasi. Ini tidak ada dalilnya (qaulnya). Itu berdasakan manhaj. Tidak ada kitab-kitab fiqih yang secara tekstual menulis "haruma al-dasi awa al- jas lainnahu..." (diharamkan dasi dan jas karena...). Contoh lain misalnya, para kiai NU dalam memberikan fatwa hukum sering memakai kaidah-kaidah fiqih atau ushul fiqih. Hanya saja masalahnya para kiai NU meskipun sudah memberi fatwa hukum berdasarkan kaidah fiqih mereka tidak mau kalau tidak ada landasan teks/nashnya. Jadi kelihatan tekstual tetapi sebetulnya penuangan teks itu selah melalui proses berfikir manhajy yang panjang dan njlimet.

Penuangan dasar teks ini, kemudian menimbulkan adanya kesan bahwa kai NU hanya bermazhab fi al-aqwal (dalam pendapat hukum) tidak fi al-manhaj (dalam metodologi). Tetapi sebenarnya, para ulama NU juga memegangi dan mempelajari manhaj Imam Syafi'i. Hal ini terlihat dalam kepustakaan mereka dan kurikulum pesantren yang diasuhnya. Kitab-kitab seperti Waraqat, Hujjat al-Wushul, Lam' al-Jawami', al-Mushtasyfa, al-Ashbah wa al-Nadha'ir, Qawaid Ibnu Abd al-Salam dan lain-lain banyak dijumpai pada koleksi kepustakaan mereka dan dibaca (diajarkan) di beberapa pesantren. Dalam hal ini metodologi itu digunakan utnuk memperkuat pemahaman atas masa'il furu'iyah (masalah yang tidak prinsip) yang ada pada kitab-kitab fiqih di samping sering juga diterapkan untuk mengambil langkah tandhir al-masa'il bi nadhairiha (menetapkan hukum sesuatu berdasarkan hukum atas sesuatu yang sama yang telah ada) tidak untuk istinbath al-ahkam min mashadiriha al-ashliyyah (penggalian hukum dari sumber pokoknya). Ini saya kira satu kekurangan tersendiri.

Bagaimanapun rumusan fiqih yang dikonstruksikan ratusan tahun lalu jelas tidak memadai untuk menjawab semua persoalan yang terjadi saat ini. Situasi sosial, politik dan kebudayaannya sudah berbeda. Dan hukum sendiri harus berputar sesuai dengan ruang dan waktu. Jika hanya melulu berlandaskan pada rumusan teks, bagaimana jika ada masalah hukum yang tidak ditemukan dalam rumusan tekstual fiqih? Apakah harus mauquf (tak terjawab)?. Padahal memauqufkan persoalan hukum, hukumnya tidak boleh bagi ulama (fuqaha). Disinilah perlunya "fiqih baru" yang mengakomodir permasalahan-permasalahan baru yang muncul dalam masyarakat. Dan untuk itu kita harus kembali ke manhaj yakni mengambil metodologi yang dipakai ulama dulu dan ushul fiqih serta qawa'id (kaidah-kaidah fiqih).
(Bersambung)


Pemikiran tentang perlunya "fiqih baru" ini sebetulnya sudah lama terjadi. Kira-kira sejak 1980-an ketika mulai muncul dan marak diskusi tentang "tajdid" karena adanya keterbatasan kitab-kitab fiqih klasik dalam menjawab persoalan kontemporer di samping munculnya ide konstekstualisasi kitab kuning. Sejak itu lalu berkali-kali diadakan halaqah (diskusi) yang diikuti oleh beberapa ulama Syuriyah dan pengasuh pondok pesantren untuk merumuskan "fiqih baru" itu. Kesepakatan telah dicapai, yaitu menambah dan memperluas muatan agenda bahtsul masa'il yang tidak saja meliputi persoalan hukum halal/haram melainkan juga hal-hal yang bersifat pengembangan pemikiran keislaman dan kajian kitab.

Dalam halaqah ini juga disepakati perlunya melengkapi referensi madzhab selain syafi'i dan perlunya penyusunan sistematika bahasan yang mencakup pengembangan metode-metode dan proses pembahasan untuk mencapai tingkat kedalaman dan ketuntasan suatu masalah. Rumusan "fiqih baru" ini kemudian di bahas secara intensif pada Muktamar ke-28 di Krapyak, Yogyakarta yang kemudian dikukuhkan dalam Munas Alim Ulama di Lampung, 1992. Di dalam hasil Munas tersebut diantaranya disebutkan perlunya bermazhab secara manhaji (metodologis) serta "merekomendasikan" para kiai NU yang sudah mempunyai kemampuan intelektual cukup untuk beristinbath langsung dari teks dasar. Jika tidak mampu maka diadakan ijtihad jama'i (ijtihad kolektif). Bentuknya bisa istinbath (menggali dari teks asal/dasar) maupun ilhaq (qiyas).


Pengertian istinbath hukum di kalangan NU bukan mengambil hukum secara langsung dari sumber aslinya, yaitu al-Qur'an dan Sunnah akan tetapi - sesuai dengan sikap dasar bermazhab - mentathibkan (memberlakukan) secara dinamis nash-nash fuqaha dalam konteks permasalahan yang dicari hukumnya. Sedangkan istinbath dalam pengertian pertama (cenderung ke arah perilaku ijtihad yang oleh ulama NU dirasa sangat sulit karena keterbatasan-keterbatasan yang disadari oleh mereka. Terutama di bidang ilmu-ilmu penunjang dan pelengkap yang harus dikuasai oleh yang namanya muj'tahid. Sementara itu, istinbath dalam pengertiannya yang kedua, selain praktis, dapat dilakukan oleh semua ulama NU yang telah mampu memahami ibarat kitab-kitab fiqih sesuai dengan terminologinya yang baku. Oleh karena itu, kalimat istinbath di kalngan NU terutama dalam kerja bahtsu masa'il-nya Syuriyah NU tidak populer karena kalimat itu telah populer di kalangan ulama NU dengan konotasinya yang pertama yaitu ijtihad, suatu hal yang oleh ulama Syuriyah tidak dilakukan karena keterbatasan pengetahuan. Sebagai gantinya dipakai kalimat bahtsul masa'il yang artinya membahas masalah-masalah waqi'ah (yang terjadi) melalui maraji'(referensi) yaitu kutubul-fuqaha (kitab-kitab karya para ahli fiqih).

Kenyataan mengenai terlalu dominannya Mazhab Syafi'i memang ada. Pendapat para ulama Syafi'iyah masih cukup dominan dalam forum bahtsul masa'il NU. Namun demikian perlu saya jelaskan bahwa dominasi Sayfi'i bukan berarti ulama NU menolak pendapat (aqwal) ulama di luar Sayif'iyyah. Hal itu dilakukan lantaran para kiai NU memang tidak mempunyai referensi lain di luar mazhab Syafi'i semisal kitab al-Mudawanah (Imam Malik?), Kanzal al-Wushul (Bazdawi al-Hanafi), al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam (Ibnu Hazm), Raudhat al-Nadhir wa Jannat all-Munadhir (Ibnu Qudamah al-Hanbali) dan lain-lain. Karena itu jangan heran jika keputusan bahtsul masa'il selalu sarat dengan kitab-kitab Syafi'i mulai dari yang paling kecil semisal Safinat al-Shalah kaya Imam Nawawi Banten sampai dengan yang paling besar seperti al-Um atau al-Majmu'. Sangat sulit dijumpai dalam kepustakaan mereka kitab-kitab lain di luar Syafi'i kecuali sebagian kecil ulama. Ini karena di samping harganya belum terjangkau juga lantaran kitab-kitab itu masih sulit diperoleh di Indonesia. Seandainya mereka mempunyai referensi lain selain mazhab Syafi'i tentu mereka akan menerima sepanjang bias dinalar dan tidak bertentangan dengan akar cultural masyarakat setempat.Hal ini terbukti dengan keputusan bahtsul masa'il NU belakangan ini yang diwarnai dengan pendapat di luar mazhab Syafi'i.


Walaupun terlihat kuat pengaruh mazhab Syafi'i bukan berarti menolak apalagi antipati terhadap ulama lain. Sejak dulu para kiai tidak mengharuskan Syafi'i saja. Satu misal, masyarakat di banyak daerah menggunakan qaul di luar Syafi'i mengenai padi yang belum dizakati tapi si penuai padi sudah diberi upah. Padahal, memberi upah kepada penuai padi (istilah jawa derep) sementara padi belum di zakati menurut Syafi'i tidak boleh. Akan tetapi sejak dulu, sejak saya masih kecil, upah selalu di berikan sebelum padi di zakati. Pendapat ini diambail dari Imam Ahmad. Semua kiai memakai itu karena mereka umumnya petani. Hanya saja intiqal (pindah) ke mazhab-mazhab itu masih menggunakan referensi kitab Syafi'iyah yang menyinggung mazhab lain dan mereka tidak pernah mengambil referensi langsung dari mazhabnya. Baru sekarang ada perkembangan sejumlah kiai sudah mengoleksi kitab-kitab non-Syafi'iyah. Jadi persoalan ini jangan lantas dijadikan dasar kritik. Memang mereka tidak memiliki kitab lain. Misalnya, Kiai Bisri Syansuri pada saat membolehkan KB berpegang pada pendapat Gahazali yang menyatakan kebolehan KB, meskipun dengan motifasi supaya istri awet muda. Pendapat ini sangat luar biasa sebab dulu kiai-kiai lain masih ketat soal ber-KB ini. Secara budaya, NU sudah biasa mempraktikkan pendapat di luar Syafi'i.
(Bersambung)

*Penulis adalah Rais 'Aam Syuriah PBNU

Bahsul Masail dan Istinbath Hukum NU
Sabtu, 3 Mei 2003 13:08 WIB


Oleh KH. MA. Sahal Mahfudz*
Bagian terakhir

Memang harus diakui keputusan Lampung belum operasional di seluruh wilayah NU karena di samping sosialisasinya masih lemah juga keterbatasan referensi yang tersedia. Meskipun begitu sudah ada perkembangan misalnya soal intiqal atau pindah mazhab. Dulu takut talqif sekarang sudah tidak lagi.
Saya masih ingat perkataan Kiai Wahab, meskipun kelakar tapi sangat menarik. Suatu saat (ketika saya masih di pesantren) saya sowan ke tempat Kiai Bisri Syansuri di Jombang yang kebetulan di sana sedang ada pertemuan pengurus Syuriyah PB NU. Di sana ada Kiai Wahab, Kiai Jalil Kudus, Kiai Dahlan dan lain-lain sedang membahas sisa-sisa bahtsul masa'il yang belum di bahas di Muktamar.

Pada waktu itu, Kiai Bisri dan Kiai Wahab pertentangan (berdebat sengit) membahas soal status Yayasan Yamualim di Semarang yang mengurusi ibadah haji. Kiai Bisri menentang pendirian Yayasan itu karena tergolong "muamalat yang tidak jelas". Sementara Kiai Wahab membolehkan karena di samping omsetnya cukup besar, NU juga sangat memerlukannya. Saat itu Kiai Wahab sempat bilang "Pekih itu kalau rupek ya di okeh-okeh" (fiqih itu kalau menyempitkan ya diupayakan agar longgar). Pernyataan ini memang kelakar tetapi mengandung nilai filosofis yang tinggi. Maksudnya, fiqih itu merupakan produk ijtihady. Karena produk ijtihad maka keputusan fiqih bukan barang sakral, yang tidak boleh di ubah meskipun situasi sosial budayanya sudah melaju kencang.

Pemahaman yang mensakralkan fiqih jelas keliru. Dimana-mana yang namanya fiqih adalah "al-ilmu bi al-ahkam al-syar'iyah al-amalaiyah al-muktasab min adillatiha tafshiliyah". Definisi fiqih sebagai al-muktasab (sesuatu yang digali) menunjukkan pada sebuah pemahaman bahwa fiqih lahir melalui serangkaian proses penalaran dan kerja intelektual yang panjang sebelum pada akhirnya dinyatakan sebagai hukum praktis. Produk fiqih tidak hanya hasil dari penalaran intelektual (rasionalisasi) berdasarkan logika-logika keilmuan tertentu tetapi juga kerja ilmiah. Contohnya adalah penggunaan metode riset ('istiqra') yang dilakukan Imam Syafi'i untuk melahirkan hukum fiqih tentang menstruasi (haidl).

Para ulama klasik juga sering melibatkan disiplin ilmu lain diluar fiqih untuk menentukan status hukum masalah tertentu. Misalnya ilmu falak (hisab) dan ikhtilaf al-mathla' dalam hal penentuan awal Ramadhan dan Syawal, ma'rifat al-qiblah dan ma'rifar al- waqti dalam hal shalat dan penemuan obat-obatan dalam kontrasepsi (man' al-hamli, ibhta' al hamli) dalam masalah nikah. Semua itu menunjukkan bahwa fiqih merupakan "produk ijtihady".


Sebagai produk ijtiahd, maka sudah sewajarnya jika fiqih terus berkembang lantaran pertimbangan-pertimbangan sosio-politik dan sosio-budaya serta pola pikir yang melatarbelakangi hasil penggalian hukum sangat mungkin mengalami perubahan. Para peletak dasar fiqih, yakni imam mazhab (mujtahidin) dalam melakukan formasi hukum Islam meskipun digali langsung dari teks asal (al-Quran dan Hadis) namun selalu tidak lepas dari pertimbangan "konteks lingkungan" keduanya baik asbab al-nuzul maupun asbabul- wurud. Namun konteks lingkungan ini kurang berkembang dikalangan NU. Ia hanya dipandang sebagai pelengkap (komplemen) yang memperkuat pemahaman karena yang menjadi fokus pembahasannya adalah norma-norma baku yang telah dikodifikasikan dalam kitab-kitab, furu' al-fiqh. Fungsi syarah, hasyiyah, taqrirat dan ta'liqat juga dipandang sebagai "figuran" yang hanya berfungsi memperjelas pemahaman muatan teks. Meskipun di dalam kitab-kitab syarah, hasyiyah, ta'liqat sering ditemukan adanya kritik, penolakan (radd), counter, perlawanan (i'tiradl), atas teks-teks matan yang dipelajari dan dibahas, namun hal itu kurang mendapat kajian serius di lingkungan NU.
Karena sadar bahwa fiqih merupakan produk ijtihad maka para fuqaha terdahulu baik al-a'immah al-arba'ah maupun yang lain meskipun berbeda pandangan secara tajam, mereka tetap menghormati pendapat lain, tidak memutlakkan pendapatnya dan menganggap ijtihad fuqaha lain sebagai keliru. Mereka tetap berpegang pada kaidah al-ijtihad la yunqadlu bi al-ijtihad, yakni bahwa suatu ijtihad tidak bisa dibatalkan oleh ijtihad lain. Masing-masing mempunyai kelebihan dan kelemahan. Hasil ijtihad seorang fuqaha mungkin tidak pas pada ruang dan waktu tertentu tetapi sesuai untuk ruang dan waktu yang berbeda. Disinilah fiqih menunjukkan wataknya yang fleksibel, dinamis, realistis, dan temporal, tidak kaku dan tidak pula permanen.

Dalam konteks ini pula maka kriteria mu'tabar yang sudah direduksi menjadi hanya melulu kitab-kitab mazhab empat sebetulnya tidak senafas dengan semangat fiqih sebagai produk ijtihad. Mengapa demikian? Sebab kriteria mu'tabar dan ghairu mu'tabar berarti disitu ada pandangan yang mengunggulkan pendapat imam tertentu dan merendahkan pendapat imam lain. Ini sudah menyalahi kaidah "al-ijtihad la yunqadlu bi al-ijtihad" diatas. Masalah kutub al-mu'tabarah ini dirumuskan di Muktamar Situbondo (tahun 1984). Saat itu saya sebagai ketua komisi dan masih sebagai Rais Syuriyab PWNU Jateng. Kutubul-mu'tabarah itu maksudnya kitab-kitab Ahlussunah dan dipersempit lagi kitab-kitab madzahib. Kitab-kitab di luar ahl madzahib tidak boleh dipakai. Contohnya kitab-kitab yang mengkritik tawasul, praktik tarekat,kewalian dan lain-lain seperti karya Ibnu Taimiyah atau Ibnul Qoyyim.

Saat itu saya sudah menentang pendapat ini. Waktu itu saya menggunakan kaidah atau pepatah Arab: khuz ma shafa watruk ma qadlara (ambillah yang jernih dan tinggalkan yang keruh). Para kiai waktu itu tidak setuju pendapat saya dan mereka mengambil sikap syaddan li dzari'ah (preventif). Dengan alasan supaya umat tidak terjerumus maka kitab-kitab tersebut dilarang saja. Karena saya kalah suara, saya tidak bisa berbuat lebih. Padahal yang namanya pendapat tentu bisa salah bisa benar karena itu jangan menggunakan pendekatan like & dislike, ini mu'tabar, itu tidak. Alasan saya, disamping untuk menghindari fanatisme bermazhab juga kitab-kitab yang ditolak itu tidak semuanya bertentangan dengan Sunni. Hanya mungkin pada bagian tertentu saja yang kebetulan berbeda. Hanya gara-gara dalam bab "tawasul" kitab ini mengecamnya, mengkritik para wali, lantas semua kitab tulisan mereka tidak boleh dipakai. Prinsipnya mana yang "reasonable" dan "applicable" bisa digunakan. Tentu tetap harus mempertimbangakn latar budaya masyarakat agar kita bisa diterima oleh semua komunitas yang majemuk ini.

Lebih jauh, harus ditegaskan bahwa muara fiqih adalah terciptanya keadilan sosial di masyarakat. Sehingga Ali bin Abi Thalib pernah berkata: "Dunia, kekuasaan, negara, bisa berdiri tegak dengan keadilan meskipun ma'a al-kufri dan negara itu akan hancur dengan kezaliman meskipun ma'a al-muslimin". Ibnu Taimiyah juga pernah berkata: "Allah akan menegakkan negara yang adil meskipun (negara) kafir dan Allah akan menghancurkan negara yang zalim meskipun (negara) Muslim". Dalam kerangka berfikir ini, maka seandainya ada produk fiqih yang tidak bermuara pada terciptanya sebuah keadilan di masyarakat maka harus ditinggalkan. Misalnya "fiqih politik" (fiqh siyasah) yang seirngkali diktum-diktumnya tidak seirama dengan gagasan demokrasi yang mensyaratkan keadilan dan persamaan hak manusia di depan hukum. Rumusan fiqih siyasah klasik biasanya menempatkan kelompok non-Muslim sebagai "kelas dua" bukan sebagai entitas yang sederajat dengan kaum Muslim. Saya rasa pandangan ini selain bertabrakan dengan gagasan demokrasi modern juga bertentangan dengan ide negara-bangsa (nation-state) seperti Indonesia. Profesionalisme, kemampuan atau kapabilitas mestinya yang menjadi pilihan utama, bukan Muslim atau tidak, bukan laki-laki atau perempuan.

Ada satu contoh kecil. Suatu hari saya menitipkan barang kepada seorang yang dapat dipercaya dan kebetulan ia bukan Muslim. Pertanyaannya apakah boleh menitipkan barang kepada dia? Kan lucu kalau tidak boleh. Tentu tidak semua persoalan harus melibatkan non-Muslim dengan dalil demokrasi. Kalau mengenai urusan-urusan yang berkaitan dengan permasalahan umat Islam seperti penyusunan UU zakat tentu mereka tidak boleh dilibatkan, sebab bukan kompetensinya. Jadi, prinsipnya pada kata keadilan (kemaslahatan). Maka kalau ada fiqih-fiqih klasik yang tidak relevan atau tidak bermuara pada keadilan maka harus dibuat fiqih baru. Harus diingat bahwa yang namanya fiqih itu mesti ijtihady. Fiqih siyasah itu sendiri bukan sebatas kekuasaan tapi lebih pada kebijakan-kebijakan yang dapat menimbulkan kemaslahatan umum. Rasul sendiri pernah berkata: "Antum a'lamu biumri dunyakum". Artinya, pada wilayah "non-ibadah" semisal kepolitikan, umat Islam diberi kebebasan penuh untuk me-rumuskan dasar-dasar politik yang adil dan egaliter sehingga bisa diterima semua pihak. Rumusan itu harus mengacu pada prinsip maqashid syari'ah yang meliputi lima hal, yaitu (1) melindungi agama (hifdz al-din), (2) melindung jiwa dan keselamtan fisik (hifdz al-nafs), (3) melindungi kelangsungan keturunan (hifdz al-nasl), (4) melindungi akal pikiran (hifdz al-‘aql), (5) melindungi harta benda (hifdz al-mal). Rumusan lima maqashid ini memberikan pemahaman bahwa Islam tidak mengkhususkan perannya hanya dalam aspek pemyembahan Tuhan dalam arti yang terbatas pada serangkaian perintah dan larangan yang tidak dapat secara langsung dipahami manfaatnya. Dalam kerangka pandang ini,maka aspek kehidupan apapun yang melingkupi kehidupan manusia (kecuali yang bersifat ubudiyah murni) harus disikapi dengan meletakkan kemaslahatan sebagai bahan pertimbangan. Karena dengan hanya menjaga stabilitas kemaslahatan inilah tugas-tugas peribadatan dilaksanakan dengan baik.
***

Demikianlah catatan pengantar dari saya, selanjutnya ke depan para ahli bahtsul masa'il harus mengantisipasi kemajuan dan perkembangan yang terjadi di masyarakat. Artinya bahwa kebutuhan manusia dan proses perubahan itu akan terus bergulir secara cepat. Kalau tidak cepat direspons kita akan ketinggalan dan nanti akan ada satu masalah yang mauquf.. Dan kalau sampai ada masalah hukum yang mauquf maka hukumnya dosa bagi para ahli fiqih. Dalam merumuskan masalah hukum harus tetap berpegang pada prinsip maqashid al-syari'ah serta memperhatikan kaidah-kaidah hukum yang lebih bersifat nilai (baca: legal value). Nilai-nilai yang dimaksud adalah keadilan, kejujuran, kebebasan, persamaan di muka hukum, perlindungan hukum terhadap masyarakat tak seagama serta menjunjung tinggi supremasi hukum Allah. Dengan begitu keputusan bahtsul masa'il tidak kehilangan relevansi dengan semangat demokrasi dan pluralisme.

Atas penerbitan buku bunga rampai yang membahas mengenai tradisi system bahtsul masa'il NU yang umumnya ditulis para generasi muda NU ini saya sangat menyambut positif jika ditulis dengan jujur dan berdasarkan pada fakta yang terjadi. Diharapkan dengan penerbitan buku ini semakin memicu dan meningkatkan profesionalitas dan kinerja para ahli bahtsul masa'il dalam menjalankan kerja ilmiahnya.

Upah Pengurusan Kurban,Mu’amalah pada waktu shalat Jum’at,Menyegerakan membagikan harta pusaka,Goni-gini

HASIL BAHTSUL MASAIL KONFERENSI KE-3 MWC NU KEC. BANJARAN


  1. Masalah : Upah Pengurusan Kurban
DESKRIPSI MASALAH:
Suatu ketika si Pulan menitipkan seekor kambing seharga Rp 1.200.000,- sebagai kurban kepada panitia yang ditunjuk di suatu DKM. Dari kambing tersebut, si Pulan boleh mengambil 1/3 nya atau sekitar seharga Rp 400.000,-. Pada waktu itu biaya/upah pengurusan hewan kurban sebesar Rp 50.000,-.
Si pulan tidak mengambil yang 1/3 nya dan dia tidak memberikan upah/biaya pengurusan hewan kurban, tetapi panitia/penyembelih hewan kurban diberi kulit/kepala/daging sebagai upahnya.
PERTANYAAN:
a) Bolehkah memberikan bagian dari hewan kurban sebagai upah pengurusan kurban?
b) Bagaimana kurbannya si Pulan sah atau tidak?
JAWABAN:
a) Tidak boleh
b) Sah tetapi tidak mendapat pahala
IBARAT:

أ‌- واعلم أن موضع الأضحية الانتفاع فلا يجوز بيعها بل ولا بيع جلدها ولا يجوز جعله أجرة للجزار وإن كانت تطوعا بل يتصدق به المضحي أو يتخذ منه ما ينتفع به من خف أو نعل أو دلو أو غيره ولا يؤجره والقرن كالجلد وعند أبي حنيفة رحمه الله أنه يجوز بيعه ويتصدق بثمنه (Kifayatul Akhyar 2:242)
ب‌- ولا يجوز جعل الجلد وغيره اجرة للجزار بل يتصدق به المضحي والمهدي) المجموع شرح المهذب( 8/420,
ت‌- وإنما أمره ألا يعطي الجازر منها, لأن أجرة الجازر على المهدى. (البيان للعمراني, 4/434)
ث‌- ولا إعطاؤه الجزّار أجرة. (أسنى المطالب لزكريا الأنصاري, 3/356)
ج‌- عن علي رضي الله عنه قال أمرني النبي صلى الله عليه و سلم أن أقوم على البدن ولا أعطي عليها شيئا في جزارتها. (متفق عليه)
ح‌- عن أبي هريرة رضي الله عنه قال : قال رسول الله صلى الله عليه و سلم : من باع جلد أضحيته فلا أضحية له. (أخرجه الحاكم والبيهقي)
كفاية الأخيار - (ج 1 / ص 533)
واعلم أن موضع الأضحية الانتفاع فلا يجوز بيعها بل ولا بيع جلدها ولا يجوز جعله أجرة للجزار وإن كانت تطوعا بل يتصدق به المضحي أو يتخذ منه ما ينتفع به من خف أو نعل أو دلو أو غيره ولا يؤجره والقرن كالجلدوعند أبي حنيفة رحمه الله أنه يجوز بيعه ويتصدق بثمنه


  1. Masalah ; Mu’amalah pada waktu shalat Jum’at
DESKRIPSI MASALAH:
Ketika adzan zhuhur berkumandang pada hari Jum’at sebagai panggilan untuk melaksanakan shalat Jum’at, ada seseorang yang belanja (transaksi jual beli) di sebuah warung (super market), padahal waktu itu sekitar jam 11.30 WIB – 13.00 WIB sedang berlangsung ibadah shalat jum’at.
PERTANYAAN:
a) Bolehkah transaksi Jual beli dan atau sewa menyewa atau hal lainnya pada waktu pelaksanaan shalat Jum’at?
b) Apakah hukum jual beli dan atau sewa menyewanya pada waktu tersebut dapat dikategorikan haram?
JAWABAN:
a) Boleh bagi orang yang tidak tertaklif wajib shalat Jum`at. Tidak boleh bagi orang yang tertaklif wajib shalat jum`at.
b) Hukum jual beli/sewa menyewanya Haram, tetapi transaksinya tetap Sah. Kecuali menurut Imâm Mâlik, Imâm Hambali dan Imâm Dâwud al Zhâhiriy, mereka menyatakan fasid.
IBARAT:
أ‌- ولا يكره البيع يوم الجمعة قبل الزوال, أما بعد الزوال, فإن كان قبل ظهور الإمام على المنبر يكره, وإن كان بعد الظهور الإمام يحرم......أما البيع فلا يبطل, لأن النهي غير مختصّ بالعقد.(التهذيب للبغوي, 2/335)
ب‌- فإن التحريم إنما يختص بأهل فرض الجمعة....وكل موضع يحرم فيه البيع إذا وقع البيع فيه, صح البيع, وقال مالك وأحمد وداود: لا يصح. (البيان للعمراني, 2/536-537)
ت‌- منع الله عز وجل منه عند صلاة الجمعة، وحرمه في وقتها على من كان مخاطبا بفرضها.... وقال الزمخشري في تفسيره: إن عامة العلماء على أن ذلك لا يؤدي فساد البيع. قالوا: لان البيع لم يحرم لعينه، ولكن لما فيه من الذهول عن الواجب، فهو كالصلاة في الأرض المغصوبة والثوب المغصوب، والوضوء بماء مغصوب. وعن بعض الناس أنه فاسد. (تفسير القرطبي, 18/107-108 )

  1. Masalah ; Menyegerakan membagikan harta pusaka
DESKRIPSI MASALAH:
Suatu ketika si Pulan mati dengan meninggalkan tirkah (harta pusaka). Setelah diambil untuk biaya pengurusan jenazah, utang piutang dan wasiatnya dari tirkah tersebut, masih ada sisanya yang harus dibagikan kepada ahli waristnya.
PERTANYAAN:
a) Apakah sisa dari tirkah tersebut harus segera dibagikan kepada Ahli warisnya?
b) Kalau tidak segera dibagikan, apakah termasuk dosa?
JAWABAN:
a) Harus segera dibagikan, setelah dikurangi biaya penyelenggaraan jenazah, washiyat dan pelunasan hutang-hutangnya. Menurut Hadits Fi`liyah dan Ijma` ulama pelunasan hutang didahulukan dari pada pelaksanaan washiyat.
b) Tafsil:
· Apabila terdapat `udzur untuk membagikan sesegera mungkin, maka tidak menjadi dosa.
· Apabila tidak terdapat `udzur maka bisa menjadi dosa. Terlebih jika sampai menimbulkan masalah sehingga terdapat beberapa pihak yang dirugikan.
IBARAT:
أ‌- ... مِنْ بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُوصِي بِهَا أَوْ دَيْنٍ .... الآية (النساء: 11)
ب‌- وذهب الجمهور إلى أن وقت انتقال تركة المريض مرض الموت إلى ورثته ، يكون عقب الموت بلا تراخ. (الموسوعة الفقهية الكويتية, 11/215)

  1. Masalah : Goni-gini
DESKRIPSI MASALAH”
Dalam sebuah rumah tangga, suami dan istrinya berpenghasilan tetap. Penghasilan suami ± 3 jt rupiah/bulan, dan istrinya ± 2,5 jt rupiah/bulan. Pengeluaran keluarga ± 2,5 jt rupiah/bulan.
Kemudian pada suatu ketika terjadi sebuah perceraian, atau salah satu dari mereka meninggal.

PERTANYAAN:
Bagaimana membagi kekayaan suami-istri tersebut yang notabennya merupakan hasil jerih-payah mereka berdua?
JAWABAN:
Adapun yang termasuk harta gono gini adalah harta yang diperoleh selama perkawinan, hal ini berdasarkan Pasal 35 ayat (1) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan.
Tidak ada aturan khusus dalam hukum syara` tentang pembagian harta gono gini (syirkah al amlâk), namun dalam KHI (Kompilasi Hukum Islam) terdapat ketentuan bahwa harta tersebut dibagi masing-masing 50%, dengan tanpa melihat besaran andil dari kedua belah pihak.
IBARAT:
إذا حصل اشتراك في لمة ..... فإن كان لكل متاع أو لم يكن لأحد متاع واكتسبا, فإن تميز فلكل كسبه وإلا اصطلحا, فإن كان النماء من ملك أحدهما في هذه الحالة فالكل له وللباقين الأجرة ولو بالغيّن لوجود الإشتراك.(هامش السيد مصطفى الذهني في حاشية الشرقاوي على التحرير, 2/109)
KHI pasal 97 :
Janda atau duda cerai hidup masing-masing berhak seperdua dari harta bersama sepanjang tidak ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan.


Catatan:
Untuk menghindari pemahaman yang terlalu jauh (menyimang) dari pendapat Madzahibul Arba’ah, dimohon dalam menjawabmasail tersebut, agar menyebutkan dan mencantumkan Maroji’nya (Kitab-Kitab Referensi) lengkap dengana nomor jilid dan halamannya.

Thursday, April 14, 2011

Doktrin Aswaja di Bidang Sosial-Politik

Copy Paste dari NU On Line

post: 15/06/2009

Berdirinya suatu negara merupakan suatu keharusan dalam suatu komunitas umat (Islam). Negara tersebut dimaksudkan untuk mengayomi kehidupan umat, melayani mereka serta menjaga kemaslahatan bersama (maslahah musytarakah). Keharusan ini bagi faham Ahlussunnah wal Jama’ah (Aswaja) hanyalah sebatas kewajiban fakultatif (fardhu kifayah) saja, sehingga –sebagaimana mengurus jenazah– jika sebagian orang sudah mengurus berdirinya negara, maka gugurlah kewajiban lainnya.

Oleh karena itu, konsep berdirinya negara (imamah) dalam Aswaja tidaklah termasuk salah satu pilar (rukun) keimanan sebagaiman yang diyakini oleh Syi'ah. Namun, Aswaja juga tidak membiarkan yang diakui oleh umat (rakyat). Hal ini berbeda dengan Khawarij yang membolehkan komunitas umat Islam tanpa adanya seorang Imam apabila umat itu sudah bisa mengatur dirinya sendiri.

Aswaja tidak memiliki patokan yang baku tentang negara. Suatu negara diberi kebebasan menentukan bentuk pemerintahannya, bisa demokrasi, kerajaan, teokrasi ataupun bentuk yang lainnya. Aswaja hanya memberikan kriteria (syarat-syarat) yang harus dipenuhi oleh suatu negara. Sepanjang persyaratan tegaknya negara tersebut terpenuhi, maka negara tersebut bisa diterima sebagai pemerintahan yang sah dengan tidak mempedulikan bentuk negara tersebut. Sebaliknya, meskipun suatu negara memakai bendera Islam, tetapi di dalamnya terjadi banyak penyimpangan dan penyelewengan serta menginjak-injak sistem pemerintahan yang berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan, maka praktik semacam itu tidaklah dibenarkan dalam Aswaja.

Persyaratan yang harus dipenuhi oleh suatu negara tersebut adalah:

a. Prinsip Syura (Musyawarah)

Prinsip ini didasarkan pada firman Allah QS asy-Syura 42: 36-39:

فَمَا أُوتِيتُم مِّن شَيْءٍ فَمَتَاعُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَمَا عِندَ اللَّهِ خَيْرٌ وَأَبْقَى لِلَّذِينَ آمَنُوا وَعَلَى رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُونَ. وَالَّذِينَ يَجْتَنِبُونَ كَبَائِرَ الْإِثْمِ وَالْفَوَاحِشَ وَإِذَا مَا غَضِبُوا هُمْ يَغْفِرُونَ. وَالَّذِينَ اسْتَجَابُوا لِرَبِّهِمْ وَأَقَامُوا الصَّلَاةَ وَأَمْرُهُمْ شُورَى بَيْنَهُمْ وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنفِقُونَ. وَالَّذِينَ إِذَا أَصَابَهُمُ الْبَغْيُ هُمْ يَنتَصِرُونَ

Maka sesuatu apapun yang diberikan kepadamu, itu adalah kenikmatan hidup di dunia, dan yang ada pada sisi Allah lebih baik dan lebih kekal bagi orang-orang yang beriman, dan hanya kepada Tuhan mereka, mereka bertawakkal. Dan (bagi) orang-orang yang menjauhi dosa-dosa besar dan perbuatan-perbuatan keji, dan apabila mereka marah, mereka memberi maaf. Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah antara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian dari rizki yang kami berikan kepada mereka. Dan (bagi) orang-orang yang apabila mereka diperlakukan dengan lalim mereka membela diri.

Menurut ayat di atas, syura merupakan ajaran yang setara dengan iman kepada Allah (iman billah), tawakal, menghindari dosa-dosa besar (ijtinabul kaba'ir), memberi ma'af setelah marah, memenuhi titah ilahi, mendirikan shalat, memberikan sedekah, dan lain sebagainya. Seakan­-akan musyawarah merupakan suatu bagian integral dan hakekat Iman dan Islam.

b. Al-'Adl (Keadilan)

Menegakkan keadilan merupakan suatu keharusan dalam Islam terutama bagi penguasa (wulat) dan para pemimpin pemerintahan (hukkam) terhadap rakyat dan umat yang dipimpin. Hal ini didasarkan kepada QS An-Nisa' 4:58

إِنَّ اللّهَ يَأْمُرُكُمْ أَن تُؤدُّواْ الأَمَانَاتِ إِلَى أَهْلِهَا وَإِذَا حَكَمْتُم بَيْنَ النَّاسِ أَن تَحْكُمُواْ بِالْعَدْلِ إِنَّ اللّهَ نِعِمَّا يَعِظُكُم بِهِ إِنَّ اللّهَ كَانَ سَمِيعاً بَصِيراً

Sesungguhnya Allah meyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanyaa dan menyuruh kamu apabila menetapkan hukum diantara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah maha mendengar lagi maha melihat.

c. Al-Hurriyyah (Kebebasan)

Kebebasan dimaksudkan sebagai suatu jaminan bagi rakyat (umat) agar dapat melakukan hak-hak mereka. Hak­hak tersebut dalam syari'at dikemas dalam al-Ushul al­Khams (lima prinsip pokok) yang menjadi kebutuhan primer (dharuri) bagi setiap insan. Kelima prinsip tersebut adalah:

a) Hifzhun Nafs, yaitu jaminan atas jiwa (kehidupan) yang dirniliki warga negara (rakyat).
b) Hifzhud Din, yaitu jaminan kepada warga negara untuk memeluk agama sesuai dengan keyakinannya.
c) Hifzhul Mal, yaitu jaminan terhadap keselamatan harta benda yang dirniliki oleh warga negara.
d) Hifzhun Nasl, yaitu jaminan terhadap asal-usul, identitas, garis keturunan setiap warga negara.
e) Hifzhul 'lrdh, yaitu jaminan terhadap harga diri, kehormatan, profesi, pekerjaan ataupun kedudukan setiap warga negara.

Kelima prinsip di atas beserta uraian derivatifnya dalam era sekarang ini lebih menyerupai Hak Asasi Manusia (HAM).

d. Al-Musawah (Kesetaraan Derajat)

Semua warga negara haruslah mendapat perlakuan yang sama. Semua warga negara memiliki kewajiban dan hak yang sama pula. Sistem kasta atau pemihakan terhadap golongan, ras, jenis kelamin atau pemeluk agama tetlentu tidaklah dibenarkan.

Dari beberapa syarat tersebut tidaklah terlalu berlebihan jika dikatakan bahwa sebenarnya sistem pemerintahan yang mendekati kriteria di atas adalah sistem demokrasi. Demokrasi yang dimaksud adalah sistem pemerintahan yang bertumpu kepada kedaulatan rakyat. Jadi kekuasaan negara sepenuhnya berada di tangan rakyat (civil sociery) sebagai amanat dari Allah.

Harus kita akui, bahwa istilah "demokrasi" tidak pemah dijumpai dalam bahasa Al-Qur’an maupun wacana hukum Islam klasik. Istilah tersebut diadopsi dari para negarawan di Eropa. Namun, harus diakui bahwa nilai­nilai yang terkandung di dalamnya banyak menyerupai prinsip-prinsip yang harus ditegakkan dalam berbangsa dan bernegara menurut Aswaja.

Dalam era globalisasi di mana kondisi percaturan politik dan kehidupan umat manusia banyak mengalami perubahan yang mendasar, misalnya kalau dulu dikenal komunitas kabilah, saat ini sudah tidak dikenallagi bahkan kondisi umat manusia sudah menjadi "perkampungan dunia", maka demokrasi harus dapat ditegakkan.

Pada masa lalu banyak banyak ditemui ghanimah (harta rampasan perang) sebagai suatu perekonomian negara. Sedangkan pada saat ini sistem perekonomian tersebut sudah tidak dikenal lagi. Perekonomian negara banyak diambil dari pajak dan pungutan lainnya. Begitu pula jika pada tempo dulu aqidah merupakan sentral kekuatan pemikiran, maka saat ini aqidah bukanlah merupakan satu­satunya sumber pijakan. Umat sudah banyak berubah kepada pemahaman aqidah yang bersifat plural.

Dengan demikian, pemekaran pemikiran umat Islam haruslah tidak dianggap sebagai sesuatu hal yang remeh dan enteng, jika umat Islam tidak ingin tertinggal oleh bangsa-bangsa di muka bumi ini. Tentu hal ini mengundang konsekuensi yang mendasar bagi umat Islam sebab pemekaran terse but pasti banyak mengubah wacana pemikiran yang sudah ada (salaf/klasik) dan umat Islam harus secara dewasa menerima transformasi tersebut sepanjang tidak bertabrakan dengan hal-hal yang sudah paten (qath'iy). Sebagai contoh, dalam kehidupan bemegara (baca: demokrasi), umat Islam harus dapat menerima seorang pemimpin (presiden) dari kalangan non-muslim atau wanita.


KH Said Aqil Siradj
Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU)

Mengenal Uang Kertas dalam Perspektif Islam

Copy Paste dari NU On Line, Pak Lik!

Pot: 16/11/2010

Pada awalnya manusia tidak mengenal uang, sehingga melakukan pertukaran antar barang dan jasa secara barter samapai mereka mendapat petunjuk dari Allah SWT untuk membuat uang. Kemudian Allah SWT menciptakan barang tambang emas dan perak sebagai nilai untuk setiap harta. Dinar dan Dirham berfungsi sebagai medium untuk mengukur harga komoditas, disamping juga berfungsi untuk alat tukar transaksi dan barang simpanan kekayaan.

Bangsa Yunani membuat ”uang komoditas” yang disebar antara mereka. Kemudian mereka membuat emas dan perak yang berupa batangan sampai masa dimulainya percetakan uang tahun 406 SM. Mata uang utama mereka adalah Drachma yang terbuat dari perak. Bangsa Romawi pada masa sebelum abad ke-3 SM. menggunakan mata uang yang terbuat dari perunggu yang disebut aes (Aes Signatum Aes Rude). Mereka juga menggunakan mata uang koin yang terbuat dari tembaga. Kemudian mereka mencetak Denarius dari emas yang kemudian menjadi mata uang utama imperium Romawi yang dicetak pada tahu 268 SM.

Bangsa Persia mengadopsi percetakan uang dari bangsa Lydia setelah penyerangan mereka pada tahun 546 SM. Uang dicetak dari emas dan perak dengan perbandingan (ratio) 1:13,5. Suatu hal yang membuat naiknya nilai emas dari perak. Uang yang semula berbentuk persegi empat kemudian mereka ubah menjadi bundar dan mereka ukir pada uang itu ukiran tempat peribadatan dan tempat nyala api. Bangsa Arab di Hijaz pada masa Jahiliyah tidak memiliki mata uang tersendiri. Mereka menggunakan mata uang yang mereka peroleh berupa Dinar Emas Hercules, Byziantum dan Dirham Perak dinasti Sasanid dari Iraq, dan sebagian mata uang bangsa Himyar, Yaman. Sedangkan penduduk Mekkah tidak memperjual belikan Dinar kecuali emas yang tidak ditempa dan tidak diolah.

Pada saat Nabi Muhammad SAW diutus sebagai nabi dan rasul, beliau menetapkan apa yang telah menjadi tradisi penduduk Mekkah, Dinar emas dan dirham perak serta uang logam (uang tembaga) merupakan mata uang yang berlaku sejak zaman Rasulullah SAW Mata uang tersebut terus digunakan dalam transaksi berbagai kebutuhan dan perdagangan hingga muncul mata uang kertas (paper money), tepatnya setelah Perang Dunia I pada tahun 1914 M. Semenjak itu, banyak negara tidak lagi mempergunakan dinar emas dan dirham perak sebagai mata uang dan alat tukar, meskipun sebagian negara tetap menggunakan nama dinar untuk mata uang negara seperti negara Kuwait namun Dinar berbentuk uang kertas

Secara etimologi, kata uang dalam terjemahan bahasa Arab nuqud mempunyai beberapa makna: baik, tunda lawan tempo atau tunai, yakni memberikan bayaran segera. Disebutkan dalam hadits: Naqadani al-tsaman (نقدني الثمن ( yakni dia membayarku harga dengan tunai.

Kata uang (nuqud/money) tidak terdapat dalam Al-Qur’an maupun dalam al Hadits. Karena bangsa Arab menggunakan kata dinar untuk mata uang emas dan dirham untuk mata uang perak. Mereka juga menggunakan kata wariq untuk menunjukan dirham perak dan ’ain untuk dinar emas. Sedangkan kata fulus dipakai untuk menunjukan alat tukar tambahan untuk membeli barang-barang murah.

Para ulama fikih menyebut mata uang dengan menggunakan kata dinar, dirham dan fulus. Untuk menunjukan dinar dan dirham mereka menggunakan kata naqdain (mustanna). Menurut Al-Sarkhasy (Al-Mabsuth: 14), nuqud hanya dapat digunakan untuk transaksi atas nilai yang terkandung, karenanya nuqud tidak dapat dihargai berdasarkan bendanya. Jadi definisi uang adalah apa yang digunakan manusia sebagai standar nilai harga, media transaksi dan media simpanan. Dengan demikian nampak jelas bahwa para fakih mendefinisikan uang dari perspektif fungsi-fungsinya dalam ekonomi, yaitu: a. Sebagai standar nilai harga komoditi dan jasa; b. Sebagai media pertukaran komoditi dan jasa; dan c. Sebagai alat simpanan.

Kesimpulannya, mata uang adalah setiap sesuatu yang dikukuhkan pemerintah sebagai uang dan memberinya kekuatan hukum yang bersifat memenuhi tanggungan dan kewajiban, serta diterima secara luas. Sedangkan uang lebih umum dari pada mata uang, karena mencakup mata uang dan yang serupa dengan uang. Dengan demikian, setiap mata uang adalah uang, tetapi tidak setiap uang itu mata uang.

Islam tidak menentukan mata uang tertentu untuk dijalankan oleh umat muslim, kalaupun Rasulullah saw menyebutkan Dinar dan Dirham bukan berarti mata uang yang harus dipraktikkan hanya terbatas kepada jenis itu saja. Hal ini dapat dilihat dari beberapa aspek. Pertama, semua teks agama yang menyebut kata Dinar dan Dirham tidak menyebut satu-satunya alat transaksi. Kedua, karakteristik muamalah (transaksi) bersifat dinamis, diserahkan kepada kreatifitas manusia sepanjang tidak berbuat zalim. Karena pada dasarnya muamalah adalah halal. Ketiga, uang kertas dapat dianalgikan (qiyas) dengan Dinar dalam aspek sebagai stándar nilai, alat tukar dan alat saving.

Perputaran uang selalu menggunakan jasa perbankan, termasuk bank syariah. Bank Syariah yang menggunakan uang kertas, baik berupa Rupiah, Riyal, Ringgit maupun Dólar tidak dapat dikatakan tidak syariah apalagi disebutnya riba. Sebab penilaian syariah atau tidaknya sebuah transaksi dapat dilihat dari dua sisi. Yaitu sisi barang yang menjadi obyek transaksi dan cara bertransaksi. Adapun obyek transaksi yang diharam diantaranya karena najis atau memudlaratkan. Sedangkan cara transaksi yang diharamkan ádalah karena zalim, baik krn curang, menipu atau perjudian. Adapun riba berkenaan dengan pertambahan nilai, baik karena berdasarkan waktu (riba nasi’ah) atau karena jumlahnya (riba fadl). Jadi tidak tepat menyebuk bank syariah tidak menjalankan syariah karena menggunakan uang kertas. Namun bank syariah tetap perlu meningkatkan kualitasnya.

Hukum Transaksi via Elektronik

Sumber NU On Line posting: 12/04/2010

Berikut ini adalah salah satu keputusan bahtsul masil diniyah waqi'iyah pada muktamar ke-32 di Makassar, 23-28 Maret 2010. (red)

Kemajuan teknologi dan Informasi telah mengantarkan pada pola kehidupan umat manusia lebih mudah sehingga merubah pola sinteraksi antar anggota masyarakat. Pada era teknologi dan informasi ini, khususnya internet, seseorang dapat melakukan perubahan pola transaksi bisnis, baik berskala kecil mapun besar, yaitu perubahan dari paradigma bisnis konvensional menjadi paradigma bisnis elektronikal. Paradigma baru tersebut dikenal dengan istilaH Electronic Commerce, umumnya disingkat E-Commerce.

Kontrak elektronik adalah sebagai perjanjian para pihak yang dibuat melalui sistem elektronik. Maka jelas bahwa kontrak elektronikal tidak hanya dilakukan melalui internet semata, tetapi juga dapat dilakukan melalui medium faksimili, telegram, telex, internet, dan telepon. Kontrak elektronikal yang menggunakan media informasi dan komunikasi terkadang mengabaikan rukun jual-beli (ba’i), seperti shighat, ijab-qabul, dan syarat pembeli dan penjual yang harus cakap hukum. Bahkan dalam hal transaksi elektronikal ini belum diketahui tingkat keamanan proses transaksi, identifikasi pihak yang berkontrak, pembayaran dan ganti rugi akibat dari kerusakan. Bahkan akad nikah pun sekarang telah ada yang menggunakan fasilitas telepon atau Cybernet, seperti yang terjadi di Arab Saudi.

Pertanyaan:
1. Bagaimana hukum transaksi via elektronik, seperti media telepon, e-mail atau Cybernet dalam akad jual beli dan akad nikah?
2. Sahkah pelaksanaan akad jual-beli dan akad nikah yang berada di majlis terpisah?
3. Bagaimana hukum melakukan transaksi dengan cara pengiriman SMS dari calon pengantin pria berisi catatan pemberian kuasa hukum (wakalah) kepada seseorang yang hadir di majlis tersebut?

Jawaban:
1. Hukum akad jual beli melalui alat elektronik sah apabila sebelum transaksi kedua belah pihak sudah melihat memenuhi mabi’ (barang yang diperjualbelikan) atau telah dijelaskan baik sifat maupun jenisnya, serta memenuhi syarat-syarat dan rukun-rukun jual beli lainnya.

Sedangkan hukum pelaksanaan akad nikah melalui alat elektronik tidak sah, karena: (a) kedua saksi tidak melihat dan mendengar secara langsung pelaksanaan akad; (b) saksi tidak hadir di majlis akad; (c) di dalam akad nikah disyaratkan lafal yang sharih (jelas) sedangkan akad melalui alat elektronik tergolong kinayah (samar).

2. Pelaksanaan akad jual-beli meskipun di majlis terpisah tetap sah, sedangkan pelaksanaan akad nikah pelaksanaan akad jual-beli dan akad nikah yang berada di majlis terpisah di majlis terpisah tidak sah.

3. Hukum melakukan akad/transaksi dengan cara pengiriman SMS dari calon pengantin pria berisi catatan wakalah (pemberian kuasa hukum) kepada seseorang yang hadir di majlis tersebut hukumnya sah dengan syarat aman dan sesuai dengan nafsul-amri (sesuai dengan kenyataan).

Pengambilan dalil dari:
1. Nihayatul Muhtaj, Juz 11, hal. 285 (dalam maktabah syamilah)
2. Al-Majmu’, Juz 9, hal. 288.
3. Hasyiyatul Bujairimi ‘alal Manhaj, Juz 11, hal. 476.
4. Hasyiyatul Bujairimi ‘alal Khatib, Juz 2, hal. 403.
5. I’anahtuth Thalibin, Juz 3, hal. 9. Dll.